2. Losing Memories

9.4K 1.1K 209
                                    

Seperti mimpi yang perlahan menjadi nyata, kau bagaikan seorang penyihir yang berada dalam dongeng-dongeng panjang. Dengan mudah mengabulkan permohonan namun meminta imbalan sebagai ganti atas apa yang tengah kau berikan. Apakah kau juga seperti itu? Bahkan aku tidak tahu siapa kau.. penyihir atau kah malaikat? Yang aku tahu perlahan tapi pasti semua mulai berubah, kehidupan membosankan milikku mulai kau warnai dengan berjuta warna juga kejutan, tetapi tetap saja aku masih selalu bertanya. Siapa kau? kau yang tersembunyi di balik ruangan kosong berdebu itu.. siapa?

.

.

.

.

.

BRAK

Suara jendela yang terbanting dengan kencang membuyarkan seluruh lamunan Haechan, lamunan kosong yang berisikan berjuta pertanyaan tentang Mark. Seperti bayangan yang dalam sekejap menghilang ketika Haechan melangkah dikegelapan, seperti itulah Mark baginya. Haechan selalu saja kehilangan jejak Mark dalam sekali kedipan mata.

Mark, seorang lelaki tampan dengan senyum yang menawan, kulit pucat yang dingin juga aroma tubuh yang menggiurkan. Pemilik nama serta wajahnya selalu berputar didalam kepalanya, seperti mencoba menggali sebuah kenangan yang terkubur jauh didalam tanah.. rasanya detak jantung Haechan berhenti saat memikirkanya.

Tepat seperti dugaan Haechan, malam ini pun denting piano mengalun mengikat kesunyian menjadi lebih pekat, denting itu membuat kakinya melangkah tanpa sadar. Waktu menunjukan pukul 01.00 dini hari dan Haechan tetap terbangun hanya untuk menunggu.. menunggu panggilan kesedihan yang selalu Mark gemakan dalam tuts-tuts piano yang memeka ditelinganya.

Krieeet

Suara pintu kayu tua pun terasa mengema dikeheningan malam dan sekali lagi hal yang pertama menyapa pandangan Haechan adalah Mark yang duduk tepat di depan sebuah piano tua dengan mata terpejam dan jemari yang terus menari diatas tuts-tuts menciptakan lantunan.

"Rasanya kau sudah hapal dengan panggilanku." Mark membuka matanya, menghentikan permainan pianonya lantas menatap Haechan dengan senyum kecil yang nyaris tidak terlihat. Mark tetap tampan dengan sebuah kemeja putih panjang yang melekat pada tubuh gagahnya juga celana hitam. Mark bak pangeran kegelapan yang keluar dari dongeng dan menjelma menjadi sosok nyata.

"Karena hanya kau yang akan memainkan piano tepat pada tengah malam." Haechan melangkah mendekat ke arah Mark hingga tepat berdiri didepanya yang masih duduk dibangku. Mark menatap Haechan dalam, lalu menariknya hingga jatuh tepat di atas pangkuanya.

"Kelak tanpa ku mainkan piano ini, kau akan melangkah mendekat ke arah tempat dimana ku berada, Chan." Tangan dingin Mark menelusuri pipi Haechan, membelainya dengan penuh perasaan juga kehati-hatian seakan Haechan adalah barang berharga yang rapuh dan mudah hancur.

Haechan hanya diam, menatap Mark saja membuatnya terbungkam tak bisa berkata apapun. Seakan terhanyut oleh iris kelam kelam miliknya, Haechan tenggelam bersama kegelapan mencoba mencari setitik cahaya untuk menjawab seluruh pertanyaanmya tentang Mark.

"Kau tahu? Aku benci ketika kau dengan sangat lancang membiarkan orang lain masuk ke ruangan ini, Chan." Tangan Mark mengangkat dagu Haechan dan menahanya. Tatapan matanya seketika berubah menjadi lebih menyeramkan. Ya... tatapan mata hangat itu berubah dalam sekejap.

"M-Maksudmu?" Seperti tikus yang tertangkap oleh kucing, Haechan tergagap. Sebenarnya Haechan paham apa yang Mark katakan tapi Haechan memilih berpura-pura untuk mendapatkan jawaban lebih pasti darinya.

"Disini, ruangan ini .. hanya ada ketika kau dan aku bertemu, maka ketika kau mencoba membawa masuk orang lain kedalam ruangan ini.. kelak kau akan melihat mereka tidak lagi bisa keluar dari sini sampai kapan pun." Bisikan lembut namun syarat akan ancaman itu membuat seluruh tubuh Haechan menegang. Mark sedang bercanda bukan? Dia tidak benar-benar mengancamnya?

Secret RoomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang