Kota bogor tak jauh berbeda dari yogyakarta, menurutku. Hanya bahasa dan budayanya yang berbeda, lingkunganya masih terasa sama, terasa damai.
Bahkan aku mengunjungi Kebun Raya Bogor yang begitu ikonik, aku menyukainya. Bogor menurutku kota yang hijau, banyak kujumpai pepohonan dimana-mana, suasananya yang dingin dan sejuk serta banyak pedagang kaki lima dimana-mana yang menjajakan jajanan-jajanan.
Jadi aku tak ada masalah dengan kotanya, aku menyukainya.
Kumulai hari-hari ku yang baru mulai dari awal, benar-benar dari awal, tak mudah awalnya karena kenangan yang nyaman tentang yogyakarta masih selalu menghantuiku.
Tapi perlahan kututup rapat, bukanya melupakan tapi menyimpanya rapat-rapat dalam kenangan. Karena aku tau , terlalu larut akan membuatku terus ragu.
Terkadang, kesepian selalu muncul, bertemu orang-orang baru lantas bukan berarti hidupku langsung berwarna.
Bahkan kertas yg harusnya kumulai dengan putih lagi kini masih terasa abu-abu, karena memulai bukan hal mudah bagiku.
Tak banyak yang kulalukan di awal kepindahanku, hanya rutinitas yang kujalani, memulai bekerja, memulai mengakrabkan diri dengan orang-orang baru dan lingkunan yang baru.
Tapi rasanya tetap hambar, aku bukan tak bersyukur, tapi aku hanya jujur apa yang kurasa.
Aku tetap merasa kosong, bahkan terkadang aku kecewa jika orang-orang yang ada disekitarku sekarang ini tak seperti dulu yang aku rasakan saat di jogja.
Aku masih terus saja membandingkanya, dan akhirnya aku sadar aku tak benar-benar bersyukur.
Suatu ketika aku menangis dalam perjalananku pulang kerja, aku merasa tetap lelah dengan semua yang aku jalani, aku tak mengerti apa yang aku inginkan.
Aku kehilangan diriku.
Bahkan terkadang sifatku yang sensitif dan tak stabil membuat kesalahpahaman-kesaalahpahaman kecil dengan orang-orang terdekatku.
Dan waktu terus berlalu seperti air, kehidupanku berlalu begitu saja, tapi aku bertahan, karena aku mulai membangun mimpi-mimpi. Dari kehidupan kerjaku saat itu ada hal positif yang sedikit mengubah pola berfikirku. hal-hal yang membuatku ingin bermimpi.
Mimpi-mimpi kecil yang akan kurawat seperti tanaman, dan kuharap mimpi-mimpiku bertumbuh bukanya mati.
Mimpiku kumulai dengan menyelesaikan kuliahku yang hampir DO mungkin, dan aku tau ini akan sulit.
Aku berasal dari keluarga yang hanya berkecukupan, bahkan di keluargaku tak ada yang kuliah. Tapi aku tetap pada pendirianku ingin kuliah.
Mungkin aku terlalu memaksakan diri, sehingga yang kurasakan dalam hidupku adalah kesulitan-kesulitan. Tapi kekuatan bertahanku selalu menang menghancurkan diriku sendiri.
Apakah aku egois?
Bahkan aku berpikir menyelesaikan kuliahku setelah lima tahun tanpa hasil, Aku akan memulai sesuatu yang menurut orang-orang terdekatku hanyalah sia-sia.
Harusnya aku melepaskan mimpiku yang itu, usiaku sudah 25 , seengaknya saat itu aku sudah punya pekerjaan yang lebih baik dan bisa mulai meencanakan masa depan, mulai berfikir untuk menemukan seorang suami. Saran orang-orang sekitarku hampir semua menasehatiku begitu.
Tapi aku kokoh dengan pendirianku. Hati kecilku begitu berat melepaskanya.
Lagi-lagi apakah aku egois? Aku belum sepenuhnya dewasa di usiaku yang menuju dewasa.
Dan aku sadar aku telah memulai sesuatu.
YOU ARE READING
Hope of Happiness
General FictionKetika hidup tidak seperti yg kita harapkan, dan yang bisa kita lakukan hanya berharap di kehidupan-kehidupan selanjutnya akan selalu baik-baik saja.