Masa kuliahku telah dimulai, walaupun aku agak kesulitan untuk kembali menyesuaikan diri tapi aku bisa mengatasinya.
Awalnya yang aku takutkan bukan tentang mata kuliahnya, api tentang keberadaanku karena aku memulainya kembali di usia 25 tahun. Tapi aku beruntung, Tuhan memberiku wajah yang baby face, jadi ketakutan-ketakutanku akan hal itu pun teratasi.
Sampai akhirnya aku bisa menyesuaikan diri, dan mulai melihat lembaran ku yang abu-abu kembali sedikit berwarna. Jujur, aku menikmati masa kuliahku jauh lebih baik daripada saat kuliah di jogja.
Karena aku memulainya lagi dengan kelas karyawan yang mayoritas adalah mahasiswa yang juga bekerja. Aku selalu mendengar hal-hal yang membuatku lebih bersemangat alih-alih depresi dan putus asa seperti yang kurasa sebelum-sebelumnya.
Aku sadar bahwa kesulitan-kesulitan hidup yang selama ini kudapatkan, masih banyak diantara mereka-mereka yang juga merasakanya. Tapi yang terpenting, bukan tentang bagimana kita terlalu berlarut-larut didalamnya, tapi bagaimana kita menyikapi hal itu setelahnya.
Bertemu orang-orang positif tentunya menularkan kita terhadap hal-hal positif juga baik kita sadari atau tidak.
Dan aku merasakan sedikit perubahan ke dalam diriku. Aku lebih kuat dari sebelumnya, dan aku mulai menikmati hari-hariku.
Tapi tentang cinta, sepertinya aku benar-benar kurang beruntung, terkadang aku merasa sedih, kenapa aku tak bisa merasakan jatuh cinta semudah orang-orang.
Bahkan ketika aku dibogor, aku yang polos pernah dengan mudahnya terbawa bujuk rayuan salah satu rekan kerjaku. Tapi Allah selalu menyayangiku, sifat yang sebenarnya ketahuan karena dia juga merayu teman kerjaku juga.
Mungkin saat itu aku blom sepenuhnya mengenal karakter orang-orangnya, aku masih terbawa suasana di jogja. Jogja dimana cowo bersikap ke cewe itu selalu ramah, mereka punya batas bagaimana menganggap hanya sebatas teman saja atau menyukainya.
Dan dengan satu hal itu akupun belajar, belajar bagaimana mengenal karakternya dan tidak benar-benar selalu mempercayai apa yang mereka katakan.
Kedua kalinya aku dikhianati seseorang yang benar-benar dekat, betapa tidak, dia memperlakukanku seperti pacarnya, tapi dia hanya bermain-main juga, bahkan alasanya tak menganggapku spesial begitu klasik, karena dia orang sunda dan aku jawa, kita tak akan pernah cocok katanya. Selain itu dia juga ingin fokus menyelesaikan kuliahnya. Tapi kenyataanya, setahun setelah kita memutuskan jalan masing-masing, dia menikah, bahkan disaat kuliahnya belum lulus.
Jujur saat itu aku merasa dikhianati, dan aku tak tau letak kesalahanku dimana. Saat itu usiaku sudah 26 tahun, dan orang tuaku semakin memperburuk keadaan dengan selalu menanyakan kapan aku menikah, kapan aku membawa calon suami untuk dikenalkan kepada orang tuaku.
Sungguh, ketika aku baru saja merasakan kehidupan yang lebih berwarna, dan aku mulai merasakan bagaimana rasanya kembali hidup. Tapi entah kenapa selalu saja ada yang menyakitiku.
Aku sempat terpuruk lagi untuk sesaat, tapi karena kesibukanku yang berharga membuatku lebih cepat move on saat itu. Aku kembali fokus pada kuliahku dan bekerja. Sampai terkadang aku tak pernah memikirkan fisik tubuhku sendiri. Karena aku yakin jika aku banyak beraktivitas dan melakukan hal-hal, pasti akan lebih sedikit memikirkan hal-hal yang menyakitkan.
Saat itu aku benar-benar bertekad untuk tidak memikirkan tentang laki-laki, aku hanya akan fokus pada kuliah dan pekerjaanku.
Ya...Kehidupanku memang berwarna, dan kurasa akan terus berwarna.
YOU ARE READING
Hope of Happiness
General FictionKetika hidup tidak seperti yg kita harapkan, dan yang bisa kita lakukan hanya berharap di kehidupan-kehidupan selanjutnya akan selalu baik-baik saja.