TLOL. 02

480 70 0
                                    

Siang itu hujan deras melanda seluruh kota. Di sebuah rumah ada seorang gadis yang tengah merengek pada ibunya.

"Ayo Bun, nanti keburu di mulai acaranya" pinta sang gadis.

"Iya bentar ini bunda ambil kunci mobil dulu, kakak beneran gak mau ikut" tanya sang bunda pada saudara kembar sang gadis.

"Nggak ah bun" balas cowok yang tengah tiduran di sofa ruang tengah.

"Yaudah, bunda pergi dulu sama Aline ya" pamit sang bunda mencium dahi anak laki-lakinya, "besok gantian kak Vano yang nemenin Aline ya" pesan sang bunda pelan.

"Iya bun" balas Vano pelan fokus dengan game di ponselnya.

"Ayo bunda, bye bye kak Vano" ajak Aline menarik tangan sang bunda dan melambaikan tangan pada sang kakak.

"Bye" balas Vano melambaikan tangan tanpa menatap sang adik.

Namun tak lama setelahnya sebuah telfon dari rumah sakit mengguncang ketenangan Vano. Bunda serta adiknya terlibat dengan kecelakaan beruntun dan keduannya kini berada di rumah sakit.

Ketika tiba di rumah sakit, seketika dunia Vano terasa hancur saat mengetahui bahwa nyawa sang bunda tidak bisa terselamatkan. Melihat sang ayah jatuh menangis, Vano pun tak bisa lagi membendung kesedihannya. Disamping jenazah sang bunda, Vano menangis meraung.

Sementara Aline bisa terselamatkan namun butuh waktu satu minggu untuk gadis itu sadar setelah melewati masa koma. Satu-satunya orang yang ia lihat ketika sadar adalah pengasuhnya, Bi Minah.

"Bibi, bunda mana?" tanya Aline ketika ia sadar.

Sebisa mungkin Bi Minah menahan tangis, "non Aline harus sabar ya, dalam kecelakaan kemarin, bunda non Aline tidak bisa di selamatkan" terangnya sepelan mungkin.

" nggak....nggak mungkin, bunda pasti selamat kan Bi, bibi pasti bercanda kan" Aline menggelengkan kepala tak percaya, air mata gadis itu terus mengalir di pipi. Tangannya yang tidak dipasang infus pun mencengkram baju bagian dadanya, merasakan sesak yang tak tertahankan.

Gadis itu terus menangis sampai ia diperbolehkan pulang dan melihat makam sang bunda.

"bunda maafin Aline, ini semua salah Aline, andai Aline nggak maksa bunda buat nganter Aline, pasti ini semua nggak akan terjadi" Aline menunduk menangis dengan memeluk batu nisan yang bertuliskan nama sang bunda.

Bi Minah yang berdiri si belakang Aline pun tak kuasa menahan tangisnya. Mengingat kondisi Aline yang baru saja keluar dari rumah sakit, bi Minah pun segera membujuk gadis itu untuk pulang.

Sesampainya di rumah, Aline yang melihat sosok Vano segera melangkah menghampiri kakak kembarnya untuk ia peluk, namun gadis itu sama sekali tak mengira bahwa kakaknya akan mengelak.

"Kak Vano" gumam Aline tertegun. Seketika gadis itu merasa takut saat mendapati sang kakak kini tengah menatapnya tajam.

Menelan ludah meski sulit, Aline berusaha mengabaikan tatapan itu, "kak Vano kenapa nggak pernah jenguk Aline di rumah sakit?" tanyanya ragu.

"Buat apa gue jenguk seorang pembunuh"

Hati Aline terasa ditusuk begitu parah hingga terasa amat sakit ketika mendengar jawaban Vano itu. Suara sang kakak terdengar benar-benar dingin di telinganya. Sebegitu bencinya kah sang kakak padanya saat ini.

Tak mampu menatap mata Vano yang kini menatapnya penuh benci membuat Aline menundukkan kepala.

"Maafin Aline kak" pelan Aline menjawab sambil menahan isak tangisnya.

"Maaf lo gak akan buat bunda bisa balik lagi, kenapa? KENAPA BUKAN LO AJA YANG PERGI" bentak Vano menampik vas bunga didekatnya hingga pecah berserakan di lantai sebelum akhirnya beranjak pergi meninggalkan rumah.

The Lost Of Love -end-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang