"Kamu yakin akan mengikutiku? Ini bisa saja berbahaya untukmu," tanpa sengaja Jisoo mendengar obrolan ayah dan ibunya di ruang tamu. Ia yang pada saat itu terbangun dari tidur dan merasa keharusan, mulai melangkahkan kaki ke dapur. Namun saat dirinya akan menuju ke sana, Jisoo malah menemukan kedua orang tuanya yang sedang duduk berhadap-hadapan.
Jisoo mengucek-ngucek kedua kelopak matanya yang pada saat itu mungkin masih setengah sadar, awalnya ia ingin menghampiri kedua orang tuanya. Namun itu terhenti saat mendengar perkataan mereka setelahnya.
"Tugasmu mengungkapkan kebenaran, sedangkan tugasku adalah menemanimu, ikut berjuang bersamamu," Jisoo mengernyitkan dahi saat melihat ibunya yang mulai menangis. Ia tidak paham apa yang mereka bicarakan. Ibunya tampak akan menahan sebuah isak tangis, namun gagal. "Aku istrimu, tapi... aku juga seorang ibu sekarang."
Jisoo terdiam saat ayahnya mulai memeluk ibunya, seolah saling menguatkan satu sama lain. Ia kira dirinya masih bermimpi pada saat itu. Terlebih dengan pembicaraan membingungkan yang seharusnya tidak ia dengar.
"Kita tidak akan kenapa-kenapa, keluarga kita akan baik-baik aja."
"Ukh...!"
Kepalanya tiba-tiba terasa sangat sakit, Jisoo sampai bersangga pada nakas di dekat dinding saat pandangannya terasa berputar sedemikian cepatnya. Ruang tamu tiba-tiba berubah, terganti dengan pemandangan ibunya yang tampak sedang menggendong Jian. Jari-jari bulat Jian mengarah padanya dengan senyuman polos khas balita. Ayahnya mengecup lembut kening Jian di gendongan ibu.
"Jaga Jian baik-baik," Jisoo yang keheranan hanya bisa terdiam saat ibunya memberikan Jian ke dalam gendongannya. Ayah dan ibunya bergantian mengecup keningnya dan juga Jian. "Kami berangkat."
Apa? Kenapa ini? Kenapa dirinya tidak bisa bernafas? Jisoo meremas bagian pada dirinya yang terasa sesak, bersamaan dengan keluarnya liquid bening yang lepas tak terkendali. Sebuah ingatan mendadak memasuki otaknya, membuatnya ingin berteriak sekencang mungkin namun tertahan. Mulutnya seolah terkunci rapat, membuatnya hanya bisa mengulurkan tangan sepanjang mungkin untuk mencegah kedua orang tuanya pergi.
"Kami menyayangi kalian..."
Jisoo memekik dalam hening, berharap kedua orang tuanya urung meninggalkannya. Namun sekuat apapun usahanya untuk mencegat, ayah ibunya tetap melangkah pergi. Semakin jauh bayangan punggung mereka meninggalkan Jisoo dengan segala kegundahan pada dirinya. Kakinya lemas, yang membuatnya jatuh terduduk di lantai yang dingin. Pikirannya mendadak kosong, Jian yang berada di gendongannya pun tiba-tiba menghilang.
Sekelilingnya berubah menjadi gelap, bersamaan dengan suara langkah kaki yang terseret. Jisoo mendongak, sebuah pisau terangkat tinggi-tinggi. Persekian detik setelahnya menghunus tepat ke arahnya.
"Ah!" tubuhnya bergetar hebat, Jisoo terbangun dengan peluh dan nafas yang memburu. Mimpi...? Jisoo hanya sedang bermimpi?
Tangannya terangkat untuk memijit pelipisnya yang terasa berdenyut. Jisoo meringis, menyangka bahwa hal yang baru saja ia alami hanyalah sebuah mimpi buruk. Namun sepertinya tidak. Dirinya memang hampir celaka semalam.
Tatapannya turun ke arah Jian, adiknya masih tampak terlelap di sebelahnya. Apa yang terjadi kemarin malam? Kepalanya kembali berdenyut, tidak bisa mengingat dengan jelas.
Jisoo perlahan turun dari ranjang, ia berjalan gontai keluar dari kamar. Dan saat akan menuju dapur, dirinya dibuat bingung oleh seorang pria yang tampak duduk terlelap di atas sofa. Ingatan tiba-tiba memasuki otaknya. Jisoo akhirnya ingat, kemarin saat dirinya bersembunyi, Chanyeol tiba-tiba datang dan menemukannya. Dengan terus menggenggam erat tangan Jisoo di sepanjang jalan, pria itu akhirnya mengantarnya sampai ke rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝗟𝗜𝗧𝗘𝗦𝗧 | Chanyeol • Jisoo | ✓
Lãng mạnJisoo adalah anak sulung, dia memiliki adik yang istimewa. Hidupnya saat ini masih berjalan dengan semestinya, rapi dan terencana. Kemudian, bertemu dengan seseorang membuat sedikit perubahan dalam dunianya. Namanya Park Chanyeol, pria yang tidak me...