Jisoo menyerahkan selembar dokumen di atas meja kerja atasannya, manajer Lim. Setelahnya, ia menggenggam erat paper bag besar yang sedari tadi dirinya jinjing. Jisoo menundukkan kepala, membiarkan manajer Lim membaca dokumen itu hingga selesai. Terdengar helaan nafas setelahnya, Jisoo mengintip ragu-ragu.
"Mengapa ingin mengundurkan diri?" pertanyaan itu membuat Jisoo mendongak, menatap lurus ke arah manajer Lim.
"Saya akan pindah beberapa hari lagi, mungkin membangun usaha kecil di wilayah yang jauh dari sini."
"Mengapa?"
"Karena ... " suara Jisoo mengecil, ia menghembuskan nafas. "Adik saya, dan saya. Bukan tentang saya yang tidak betah bekerja di sini, maupun tentang kerja sistem yang ada. Namun, agar saya bisa banyak memiliki waktu untuk mengurus adik saya. Mungkin hanya itu."
"Benar demikian?"
Lama Jisoo terdiam, sebelum akhirnya mengangguk yakin, "Iya."
Dan di sinilah Jisoo sekarang. Ia tampak bungkam saat Woori maupun Seok memberinya pertanyaan bertubi-tubu, Jisoo hanya fokus memberesi barang-barangnya yang terdapat di meja tempat dirinya bekerja. Woori tampak berkaca-kaca, sedangkan Seok mendiaminya setelah sebelumnya terlihat marah akibat pertanyaannya yang sama sekali tidak ia digubris.
Jisoo tahu ia egois, padahal ia sudah berjanji akan menceritakan apapun yang ia alami pada mereka. Namun ia memilih untuk lebih mementingkan egonya ketimbang harus membuat teman-temannya ikut terseret dengannya ke dalam bahaya. Jisoo menyayangi mereka, maka biarlah ia sendiri yang menanggung dan menyelesaikannya. Walau dengan jalan melarikan diri sekali pun.
Jisoo mulai melangkahkan kaki, ia mendekati Woori dan juga Seok. Ia menghirup nafas dalam-dalam saat menatap Woori yang menggenggam erat telapak tangannya, seolah sedang berusaha untuk mencegahnya pergi. Jisoo menoleh, Seok tampak membuang muka, walau ia tahu pria itu sedang menahan rasa kesal, pria itu tetap mengatakan hal yang membuatnya terharu.
"Kau sangat egois, Noona. Namun apapun itu, hati-hati, tetap jaga kesehatan."
Jisoo memilih untuk tidak mengucapkan sepatah kata pun, karena ia tahu itu malah akan semakin membebani mereka. Terakhir, ia hanya memberi senyuman, lantas melambai-lambaikan tangan pelan ke arah teman-temannya. Mungkin ia tidak akan bertemu dengan mereka lagi. Jejaknya hanya akan terputus sampai di sini. Tekad Jisoo sudah bulat.
Namun saat tatapannya tanpa sadar terfokus pada satu titik, pertahanannya terasa sedikit tergeser, Jisoo membuang muka. Ia melangkah dengan cepat keluar dari gedung. Hingga saat pergelangan tangannya terasa dicegah. Jisoo menoleh, cepat-cepat ia menyentak genggaman itu agar terlepas darinya. Namun gagal, tenaga Chanyeol lebih besar darinya.
"Sajangnim, sudah ku katakan sebelumnya, anda tidak perlu lagi merepotkan diri sendi-"
"Aku tidak merasa direpotkan!" Chanyeol memotong ucapan Jisoo dengan cepat, tatapannya nanar melihat Jisoo yang terdiam. "Aku mengetahuinya."
"Apa?"
"Aku mengetahui semuanya. Tentangmu, dan tentang semua luka yang selalu menggerogotimu. Aku tahu. Dan aku ingin mulai sekarang... kau membagi semua itu denganku."
Jisoo termangu, terkejut dengan apa yang pria itu katakan. Namun sedetik kemudian, ia menggelengkan kepala kuat-kuat.
"Saya tidak paham dengan apa yang anda bicarakan. Maaf," Jisoo membungkukkan badan sopan, dan dengan segera melepaskan genggaman tangan Chanyeol, meninggalkan pria itu.
Namun Chanyeol tidak berhenti sampai disitu, ia ikut melangkah mengejar Jisoo. Berjalan beriringan tanpa memedulikan beberapa pasang mata yang ikut memperhatikan mereka. Chanyeol memeluk sebelah bahu Jisoo, tanpa memedulikan ekspresi kaget perempuan itu. Chanyeol berjalan menuju mobilnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝗟𝗜𝗧𝗘𝗦𝗧 | Chanyeol • Jisoo | ✓
RomanceJisoo adalah anak sulung, dia memiliki adik yang istimewa. Hidupnya saat ini masih berjalan dengan semestinya, rapi dan terencana. Kemudian, bertemu dengan seseorang membuat sedikit perubahan dalam dunianya. Namanya Park Chanyeol, pria yang tidak me...