Cinta sepihak dan dalam diam, lebih berat dari sekadar rindu. Benarkah?
***
"Anjir! Fa, cewek lo galak amat sih." Lelaki berjerawat itu mengadu.
"Ngomong gitu lagi siap aja lihat swallow kedua terbang." Gadis itu mendengus, kemudian meletakkan sepeda dan meminta sandalnya agar dikembalikan.
Tangannya sudah terapung di udara namun tidak juga ada yang bergeser dari tempat duduk itu.
"Balikin, gue mau pulang."
"Yang lempar ke sini siapa, harusnya ambil sendiri. Nggak usah manja, kek cewek aja." Si gembul berbicara seolah Nantha adalah teman lelakinya yang tahan jika dikatai.
"Gue emang cewek, dodol! Cepet dong balikin ih," rengek Nantha. Ia menghampiri para lelaki itu hendak mengambilnya sendiri.
"Swallow bro, sandal zaman now, dihias pake tali rafia biar wow. Nggak usah beli yang mahal, gitu aja laku keras di loakan." Si jerawat berkata dengan mengamati sandal Nantha. Seperti belum pernah melihat sandal semacam itu karena ia tidak sedang memakai sandal.
Suara tawa mereka mendengung di telinga Nantha. Gadis itu ganti menatap Luthfa yang belajar menggenjreng gitar lagi dengan wajah menatap Nantha seakan sedang menyanyikan lagu untuk kekasih tercinta. Padahal nyatanya hanya sebagai penghayatan saja, tidak ada maksud. Iya, memang tidak bermaksud, tetapi kan sebagai manusia, kalian merasakan saat di mana jantung kalian berdegup kencang karena kepergok maling atau karena habis berlari-larian.
Ya, itulah yang dialami Nantha, yang seumur hidupnya belum pernah merasakan. Saat sebuah manik mata seakan menatapnya lembut penuh pengharapan.
Ih apaan sih, Nantha akan jatuh kalau seperti ini terus. Ia kan, anti bucin, bukan level gitu loh. Kalau diteruskan nanti bisa saja gadis itu berubah haluan.
"Gue mau pulang, balikin sandal gue," mintanya lagi.
Yang ada malah Luthfa menyanyi dengan suara pelan tanpa menghiraukan permintaan Nantha. Tanpa ada rasa untuk mengembalikan sandal itu.
"Luthfa!" Nada suara Nantha naik satu oktaf.
"Apa, sayang?" jawab Luthfa dengan santai tanpa ada beban.
"Ciee sayang uhuk."
"Ahemm."
"BUCEEN BUCHEEN!"
Sorakan-sorakan dari teman Luthfa itu membuat Nantha merasa tidak nyaman. Ia ingin segera pulang dari sana dan memasak untuk makan malam.
Begitupun disertai dengan adegan salah dua dari mereka yang berpelukan. Seperti sepasang kekasih yang sedang dilanda asmara. Ingin muntah, tapi perut kosong. Dan kalian tahu apa yang dirasakan Nantha sekarang? Ia merasa pipinya terbakar, air mata di pelupuk dan sebentar lagi pasti jatuh.
Tes!
"Balikin ...," rengek Nantha, mengusap pipinya yang sudah terdapat air mata. Bukan. Bukan karena sandalnya tidak dikembalikan Nantha menangis, ia merasa malu!
"Loh, nangis dong, Fa?" Teman-teman Luthfa berhenti berpelukan seperti telettubies, juga berhenti mengendangi meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mendaki Menuju Hatimu [TAMAT] ✓
Dla nastolatkówDipanggil 'cewek manja' oleh mereka yang keluarganya lengkap dan dipenuhi kasih sayang. Sebenarnya, ia hanya merasa lelah dengan kehidupannya, ingin dilihat dan diperhatikan oleh banyak orang. Namun, sikapnya yang salah justru membuat orang-orang se...