Sesi Wawancara

92 2 0
                                    

Ruang tunggu itu begitu sunyi, meskipun ada banyak sekali orang tengah duduk. Sepertinya mereka gugup atau grogi lebih tepatnya.

Andini, satu dari sekian banyak pelamar pekerjaan tengah sibuk menata berkas di tangannya. Gerakannya terhenti kala mendengar namanya dipanggil.

Andini berdiri, merapihkan sedikit dandanannya lalu berjalan memasuki ruang wawancara.

Ruangan ini tampak berbeda dari ruang tunggu, lebih tertata dan sejuk dipandang. Semua orang yang mengunjungi ruangan ini pasti akan betah berlama lama disini. Di sudut ruangan, ada sebuah meja dengan seseorang lelaki berkemeja biru duduk menatap Andini.

Pria itu menyuruh Andini untuk duduk di kursi menghadap dirinya. Andini memberikan berkas pada pria itu, lalu menatap pria itu tajam. "Sepertinya seumuran denganku" gumam Andini.

Sementara itu si pria membuka lembar berkas memastikan data dengan detail. Andini diam, bingung harus melakukan apa.

"Nama kamu Andini Nur Putri." Ujar si pria.

Andini segera menegakkan tubuh, "Betul." Ujarnya tegas membuat si pria tersenyum.

"Santai saja, tak perlu grogi. Ini hanya wawancara biasa." Ujar si pria diiringi senyuman hingga beberapa giginya terlihat. Andini ikut tersenyum simpul. Ia merasa tenang dan santai, tidak seperti sebelumnya.

Lalu si pria itu mulai menanyakan banyak sekali pertanyaan umum tentang wawancara kerja yang dijawab Andini dengan yakin. Hingga tak terasa sudah setengah jam berlalu.

"Bisa Anda ceritakan bagaimana hubungan pertemanan Anda, ataupun kehidupan sosial Anda." Tiba tiba si pria menanyakan hal pribadi yang menurut Andini sangat tidak perlu dibicarakan.

Andini mengerutkan kening, membuat si pria tersadar. "Anda kan ingin bekerja diperusahaan game, tentu kami ingin mengetahui hubungan pertemanan Anda seperti apa. Karena permainan game sangat berhubungan dengan pertemanan, jadi kami bisa berinovasi dan membuat game baru layaknya permainan tradisional yang membutuhkan kerjasama antar teman. Kalau Anda tidak mau cerita, tidak apa apa. Wawancara saya akhiri." Ucap si pria santai.

Andini mengembuskan napas pelan, menatap si pria lalu mulai bercerita. "Saat saya kecil, saya memiliki seorang teman laki laki yang akrab dengan saya. Anak itu tinggal di samping rumah saya. Namanya Epa. Sebenarnya nama panjangnya Deva Mahendra, cuma saya lebih suka panggil dia Epa." Andini terpaksa bercerita supaya ia dapat diterima kerja di perusahaan ini, ia bosan menganggur selama setengah tahun.

"Waktu kelas 3 SD kalau tidak salah, Saya dan Epa main disekitar sumur. Saat itu, Saya tidak tahu kalau main dekat situ bahaya. Tanpa sengaja, Saya mendorong Epa masuk kedalam sumur. Saya panik, lalu berlari sambil menangis menuju rumah orangtua Saya." Andini menghela napas sejenak.

"Orangtua saya lalu pergi ke rumah orang tua Epa. Saya ngga tau kelanjutannya karena saat itu Saya takut keluar rumah. Tepat pukul 9 malam kalau tidak salah, orangtua saya kembali lalu berkata padaku bila Epa kritis. Orangtua Epa nampak marah padaku, tetapi tidak menunjukkan raut kemarahan dihadapanku. Sepertinya orangtua Epa mengerti keadaan kami berdua saat itu.

Seminggu sejak kejadian itu, kondisi Epa tidak menunjukan hal baik. Epa dan keluarganya pergi ke jakarta untuk melakukan pengobatan yang lebih baik.

Lalu saat Saya SMP, Saya mempunyai seorang teman perempuan namanya Calista Fitria. Kami berteman baik hingga Saya melupakan Epa. Lalu saat kami sangat akrab bermain. Calista memiliki pacar, ia jadi lupa denganku. Kemana mana selalu dengan pacarnya, dan saya merasa-"

"Kalau kamu bukan perioritas dia lagi. Kamu menutup diri dengan lingkungan sosial?" Ujar si pria memotong perkataan Andini, membuat Andini menganggukan kepala.

"Sejak saat itu Saya sudah dua kali kehilangan seseorang yang ku sayang, dan Saya merasa semua itu salahku. Sehingga saya tidak memiliki teman ketika SMA dan Kuliah. Saya selalu merenungi kejadian lampau hingga lupa ada seseorang yang harus saya urus. Yaitu diri saya sendiri. Lalu Saya memutuskan untuk bekerja disini karena desain grafis adalah hal yang saya sukai, saya ingin membahagiakan diri saya sendiri dahulu baru orang lain" Ujar Andini mengakhiri ceritanya.

"Terimakasih, Saya suka mendengar cerita anda. Seminggu setelah wawancara, Anda akan menerima email hasil wawancara anda." Kata si pria lembut seraya menjabat tangan Andini.

Andini membalas jabatan tangan si pria, ia merasa lega telah menjalani wawancara dengan berani. Tiba tiba Andini teringat, sejak awal ia tidak mengetahui nama si pria tadi. "Maaf sebelumnya, nama Bapak siapa ya?"

Si pria tersenyum, lalu menjawab pertanyaan Andini.

"Nama saya, Deva Mahendra."

Nilai Dari Sebuah Bibit KehidupanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang