Erlia kini sudah dipindahkan ke ruang rawat inap setelah menjalani masa kritisnya kemarin. Erlia kekurangan banyak sekali darah akibat kecelakaan kemarin beruntung ada seseorang yang berbaik hati mendonorkan darahnya kepada Erlia.
Seva yang sedang sibuk mengupas kulit apel yang akan dimakannya mengalihkan perhatiannya karena tiba - tiba ponselnya berdering.
"Hallo, Erik tumben kau menelpon" Seva sedikit terkejut Karena temannya ini tumben sekali menghubunginya.
"Iya.. aku ingin menanyakan kabar Erlia. Mau nya aku nanya sama Sofie tapi ponselnya tidak aktif. Jadi aku bertanya padamu mungkin kamu tahu."
"Bagaimana kau tahu Erlia sakit?" Seva mengerutkan keningnya bingung.
"Tentu saja aku tahu. Aku dan Sofie yang menemukannya terluka di jalanan yah walaupun sofie yang lebih dulu datang dan memanggil ambulance memang. Tapi aku juga ikut mengantarkannya ke Rumah sakit waktu itu. Apa sofie tidak memberitahumu?"
DEG..
Haruskah Seva merasa bersalah sekarang?
"Hallo seva.. sev kau masih disana kan?" Erik bingung karena Seva tidak kunjung menjawab perkataannya.
"Ah ya.. Erik aku mendengarkan. Sofie memang tidak sempat memberitahuku kemarin."
"Benarkah? Dia pasti kelelahan kemarin hingga tidak menjelaskannya. Dia menyumbangkan dua kantong darah sekaligus pada Erlia kemarin gara - gara Erlia kehabisan darah. Aku kasihan padanya. Aku menyesal karena darah ku bukan golongan O. Apa dia juga tidak memberitahukannya padamu?" Lagi - lagi perkataan Erik berhasil membuat Seva membeku seketika. Dia bahkan tidak menyadari wajah pucat Sofie kemarin dan dia langsung memaki - maki gadis itu hanya karena emosi menguasainya.
Seketika dia ingat apa yang dikatakannya kemarin dan tanpa ba bi bu lagi Seva langsung mematikan telponnya dan pergi keluar Rumah Sakit. Erik berdecak kesal karena sambungannya diputuskan sepihak oleh Seva.
--
Seva mengemudi tanpa menghiraukan tata tertib lalu lintas. Persetan dengan hal itu sekarang. Dia harus segera minta maaf pada Sofie sekarang bagaimanapun caranya.
Setelah dua puluh lima menit di jalanan akhirnya Seva sampai di rumah Sofie. Setengah berlari Seva pergi menuju pintu rumah Sofie setelah keluar dari mobil.
*TOK TOK TOK
Seva mengetuk pintu dan tidak lama kemudian Pintu itu terbuka dan menampakkan wajah Ibu Sofie yang tampak habis menangis.
"Tante apa tante baru saja menangis? Aku kesini mau mencari Sofie, Sofie dimana Tan?" Seva bertanya penuh dengan nada khawatir, pikiran - pikiran buruk memenuhi otaknya. Dia berusaha mengenyahkan itu.
"Sofie ada di kamarnya Seva, dari kemarin dia tidak mau keluar kamar dan dia belum makan dari kemarin sore. Tadi Tante ke atas bermaksud untuk memintanya sarapan tapi Tante malah mendengar barang - barang yang pecah. Tante benar - benar khawatir Seva. Kemarin sofie pulang dalam keadaan acak - acak kan dan Nampak pucat dia langsung pergi ke kamarnya dan mengacuhkan Tante. Tante tidak tahu apa yang terjadi. Apa kau tahu sesuatu Seva?" Tante Mita tidak bisa menahan airmatanya lagi. Seva langsung saja masuk dan langsung menuju ke kamar Sofie di lantai dua.
"Sof... Sofie... buka pintunya. Ini aku Seva. Sof... please buka pintunya. Aku mau minta maaf. Sof.... Please Sof...." Tidak terdengar sahutan apapun dari kamar itu. Membuat Seva dan Mita semakin cemas.
"Bagaimana ini Seva?" Tanya Mita panik. suaranya bergetar. air mata tidak henti - hentinya mengaliri pipi tirus itu.
"Jalan satu - satunya adalah mendobrak pintu ini. Bolehkah aku mendobraknya Tante?" Mita mengangguk sambil menangis. Apapun akan dilakukannya untuk melihat anaknya kini, jangankan mendobrak pintu, menghancurkan rumahnya pun akan dia lakukan asalkan dia bisa bertemu dengan putri semata wayangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
La Douleur Exquise (END)
Short StoryRead if you interested "Maafkan aku yang sudah menjatuhkan hatiku padamu walau aku tahu itu salah. Aku hanya tidak bisa menahan rasa ini." °•|•° "Jadi kau memanfaatkanku hanya untuk membalaskan dendammu? Heh.. ternyata a...