0.4

12.3K 1.5K 153
                                    

"Ibu, aku dapat 89!"

"Oh iya? Kalau Jia berapa?"

"Aku 100!"

"Wah hebat anak ibu! Hari ini mau makan apa? Bulgogi?"

"Mauuuu!"

"Ibu, aku dapat 89."

"Jihan berusaha lagi yah buat dapat 100? Hari ini makan bulgogi gapapa yah?"








"AAAAHHHHHHHH!!!!"





PRANG!





Aku melempar tempat pensil kayuku ke cermin kamarku dengan emosi yang memuncak hingga ke ubun-ubun kepala.

Aku merosot dan memeluk lututku sambil terus menangis. Menangisi semua ketidakadilan yang kembali aku ingat lagi setelah susah payah kulupakan dan kukubur dalam-dalam dengan tumbuh menjadi orang dewasa yang bisa bersikap dewasa dan masa bodoh.

Kenapa kami harus berbeda?

Jika kepintaran menjadi tolak ukur ibu untuk memberikan kasih sayang dengan tidak merata kepadaku dan Kak Jia, maka aku bisa berusaha lebih keras lagi untuk belajar. Tapi itu tak pernah cukup. Usahaku tak pernah cukup.

Dan disaat ibu memberikan kasih sayangnya dengan ukuran yang tidak sama rata untukku dan Kak Jia, ayah datang memelukku dan memberikan semua kasih sayang yang tidak ibu berikan padaku dan hanya memberi sedikit kasih sayangnya kepada Kak Jia.

Ayah seperti meratakan apa yang dibagi oleh ibu. Ketika Kak Jia mendapatkan lebih dan aku sedikit, maka ayah akan memberikanku lebih dan Kak Jia sedikit. Sikap ayah yang inilah yang membuatku bertahan dari ketidakadilan dan melangkah dengan pikiran positif bahwa aku masih dicintai.

Kak Jia dididik lebih keras oleh ayah dibanding aku karena sikapnya yang semena-mena. Saat sekolah dasar dia pernah memukul temannya karena menyelak antrean di kantin, saat sekolah menengah dia pernah masuk ke BK karena membalas temannya dengan membuang bukunya ke selokan, saat sekolah akhir dia pernah ketahuan membawa rokok ke sekolah, lalu yang paling buruk adalah ketika memasuki kuliah hingga sekarang ... sikap shopaholic-nya sungguh diluar nalar.

Tapi lagi-lagi dibalik keburukannya, ada ibu yang selalu melindunginya dengan ribuan alasan kenapa ayah dilarang memarahi Kak Jia. Saat itu, aku tak tahu alasan ibu berbuat demikian atau Kak Jia yang masih saja nggak bisa mengubah sikapnya yang semena-mena .... aku hanya mengerti alasan ayah bersikap tegas. Beliau ingin Kak Jia punya rasa tanggung jawab pada dirinya sendiri dan aku mengerti itu.

Itu sebabnya aku menghindari hal-hal yang Kak Jia lakukan. Setiap hari aku hanya belajar, bermain dengan teman yang memang baik dan bisa dipercaya, membantu ibu dan ayah di rumah saat weekend, melakukan kerja sosial, part-time, aku bertanggung jawab untuk diriku sendiri.



Tok tok tok




"Jihan?"

Itu suara ayah.

"Jihan, mau ngobrol sama ayah?"

"Nggak," jawabku dengan suara parau.

"Sebentar aja, Sayang?"

"Nggak."

"Kamu marah sama ibu?"

"AKU BENCI! AKU BENCI IBU SAMA EONNIE! AKU BENCI SEMUANYA!"

Daddyable | Kim MingyuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang