CLOSER - 07. OPPORTUNITY

259 31 4
                                    

CLOSER - 07. OPPORTUNITY

Ketika hanya berpegang pada penglihatan tanpa melibatkan pendengaran atas kebenaran.
Maka tafsiran dari isi kepala hanya sebuah kesalahpahaman.
~Kania Sukma~














Vania berjalan anggun melewati koridor menuju kantor sang suami di lantai paling tinggi.

Sepanjang jalan wanita cantik itu tidak pernah memudarkan senyum dan membalas ramah sapaan dari para karyawan yang bekerja di bawah kepemimpinan sang suami.

"Selamat siang, nyonya." Sapa seorang wanita yang menjadi sektertaris di kantor Ramon.

"Siang Selena. Apa suami saya ada di dalam?"

"Beliau ada di dalam bersama pak Hermawan." Jawab Selena penuh rasa sopan dan hormat. "Silahkan masuk, nyonya." Perempuan cantik itu langsung membuka pintu mempersilahkan istri cantik atasannya.

Vania berseru terima kasih dan berjalan memasuki ruangan dan terlihat sang suami dan Hermawan sedang berbincang perihal bisnis.

"Nyonya." Sapa Hermawan yang pertama menyadari kehadiran Vania. Itu membuat Ramon langsung mengalihkan pandang dari dokumen-dokumen di atas meja dan mengarahkan segala atensinya kepada Vania.

Wanita itu langsung tersenyum dan matanya tertuju pada Ramon yang menatapnya dengan sorot mata datar seperti biasa. "Maaf jika saya menggangu kalian bekerja."

Hermawan langsung buka suara. "Tidak, nyonya. Saya sudah selesai berdiskusi dengan tuan dann ekarang saya akan undur diri karena ini sudah waktunya istirahat dan makan siang." Pria itu langsung beranjak pergi.

"Mas, seperti biasa aku membawakanmu makan siang." Sebuah paper bag berisi makan siang Vania serahkan di hadapan Ramon.

"Terima kasih." Hanya itu namun sengatan hangat menjalar pada relung hati Vania.

"Kalau begitu nikmatilah." Katanya dengan penuh kelembutan. "Aku pamit."

Hermawan diam hanya netranya yang terus menatap figur sang istri.

Sungguh, sebagian hatinya merasa sesak setiap kali bersitatap dengan wanita yang masih berstatus istri sahnya.

"Vania." Panggil Ramon saat tangan Vania hendak memutar gagang pintu dan berbalik menatapnya.

Sejenak keduanya saling pandang hingga Ramon membasahi bibir bawahnya dan berucap. "Maafkan saya."

Mendengar itu semakin membuat hati Vania terasa di remat kuat, sakit. Namun seutas senyum berbentuk bulan sabit terukir. "Kamu tidak bersalah, hanya saja situasi dan kondisi yang tidak seharusnya terjadi malah mengikat dan mengungkungmu dengan kuat."

"Jangan terus mengukir senyum karena saya sangat tahu batinmu selalu muram."

"Begitu juga dirimu."

Diam, sejenak keduanya diam.

Lagi-lagi Vania mengukir senyum. "Terima kasih masih memperlakukan aku dengan baik dan menghargai tali pernikahan kita sampai saat ini." Jelas Vania. "Aku tahu dan mengerti. Tapi maaf, aku juga sama egois seperti dirimu."

CLOSERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang