CLOSER - 13. ILY

238 22 8
                                    

~BAGIAN 13. ILY

Rasa itu seakan menjamur dan setiap bergulirnya waktu semakin tertanam dalam.
~CLOSER~
















Deru kuda besi yang di tunggangi Ragil berhenti kala sang pemuda memilih singgah di pinggir jalan beberapa meter dari hunian megah sang ayah.

Netra coklat gelap yang beberapa saat lalu berkilau tanpa emosi berubah mengkilat tajam bersamaan dengan rahang menegang.

Hatinya yang tentram kini bergemuruh dan kepalanya seakan mendidih di timpa amarah.

Genggaman tangannya mengetat menciptakan urat-uratnya mencuat.

Penguasaan emosinya yang terkenal baik meluap begitu saja saat objek di depan sana ternyata sumbu paling cepat menyulut amarahnya.

"Brengsek!" Satu kata umpatan lolos melisankan kemarahan.

Dengan cepat cowok itu mengambil ponsel, menghubungi Hermawan guna membatalkan janji temu karena sadar sebelumnya dia menyanggupi untuk bertemu di kediaman sang ayah. Selepas menghubungi Hermawan Ragil langsung memacu motor pergi.

Sedangkan di depan halaman megah Ramon menangkap presentasi sang anak lewat sudut mata.

Sedikit tersentak dan bisa dia lihat putranya langsung memacu kendaraan untuk bergegas meninggalkan lingkungan tempat tinggalnya.

"Mas, aku pamit pergi dulu."

Suara mendayu itu menarik Ramon dari lamunan tentang sang putra, lalu netranya berpindah pada seorang wanita yang berada di ambang pintu mobil.

Senyum hangat Ramon terukir, kepalanya mengangguk sekilas. "Careful, jangan lupa menghubungiku sesampai di rumah." Kata Ramon membuat sang wanita menyanggupi lalu memacu mobil menjauh dari rumah megahnya.

Lalu bola mata Ramon berpindah menatap layar ponsel di genggaman yang berdering.

"Vania." Gumamnya membaca nama yang tertera di layar. Sang istri menghubungi.

~°~°~°~°~°~

Gemuruh kemarahan yang tadi hampir saja meledak seketika lenyap kala matanya bertemu pandang dengan bola mata lembut sang ibunda. Ketentraman hatinya kembali menguasai saat seulas senyum manis terpancar dari paras meneduhkan bunda Vania menyambut kedatangannya.

"Udah selesai belajarnya sama Pak Hermawan?" Lantunan suara kelembutan itu mendayu dengan mudah masuk ke dalam pendengaran Ragil.

Seutas senyum terukir di bibir Ragil. "Udah, bun." Tentu saja sebuah kebohongan kembali dia ciptakan.

Sungguh dalam hati Ragil sudah banyak tumpukan rasa penyesalan atas segala kebohongan yang dia lontarkan pada sang ibunda, tidak bisa berhenti malah semakin menjadi.

"Kamu pasti capek, seharian sekolah terus lanjut belajar tentang bisnis." Tangan lembut itu mengusap pelan pundak Ragil. "Ayo makan, biar nanti kamu tidurnya nyenyak." Katanya. "Bunda udah masak ayam bakar sambal ijo kesukaan kamu."

Wajah Ragil semakin cerah. "Makasih, bun." Ucapnya memeluk bundanya sekilas. "Ayo makan, perut aku udah demo kelaperan."

~°~°~°~°~°~

Kesabaran Nabilla Putri yang setipis tisu di bagi tujuh benar-benar sukses terkikis habis kala bertatap muka dengan Satria Pandu Wijaya.

Tidak sedap jika pertemuan keduanya tidak berbumbu adu mulut dan sedikit cakaran maut mengoyak kulit sebagai pelampiasan rasa kesal Billa yang membabi buta terhadap si pemuda.

CLOSERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang