Part 10

28 6 23
                                    

"Hari yang bahagia"

"Manusia boleh berencana, namun tetap Allah yang menentukan. Sekuat apa pun dan dengan cara apapun kita mengelak, tetaplah takdir Allah yang menang diatasnya"

***

Aku terbangun ketika suara alaram memecah keheningan di kamar ini. Dengan semangat empat lima aku beranjak untuk melaksanakan mandi dan solat, tidak seperti biasanya aku selalu mengabaikan alaram yang berteriak kencang dan dengan segera mematikannya hingga menunda-nunda waktu bangunku. Entahlah, akupun bingung, untuk apa alaram dibuat kalau pada akhirnya dimatikan karena dianggap pengganggu.

Pagi ini aku bahagia sekali. Weekend kali ini kakek mengajak kami melihat sawahnya yang sedang panen, aku yang biasanya tidak bisa ikut karena banyak kegiatan diluar akhirnya hari ini berkesempatan ikut panen. Om, tante dan adik sepupuku juga ikut, tidak hanya itu ternyata saat sarapan pagi ini aku dikejutkan dengan kedatangan mama, papa dan adik-adiku. Mereka datang tanpa memberitahukanku terlebih dulu, sengaja biar tau bagaimana kelakuanku dirumah nenek, molorkah, maleskah, sering keluyurankah. Untung mereka datang saat aku sedang baik-baik saja dan tidak berulah.

"Mama kok nggak bilang-bilang sih mau datang, biar Felly jemput tadi." Keluhku pada mama saat kami berkumpul dimeja makan untuk sarapan, untung mama dan papa datangnya pagi, kalau siang kan bisa kacau.

"Sengaja, biar kami bisa mergokin kamu. Ngomong-ngomong gimana kulaih kamu?" tanya mama sambil mengunyah makanannya, kebiasaan mama sekalu bicara sambil makan, tapi anehnya beliau jarang tersedak saat makan.

"Ya gitulah ma, nggak ada apa-apanya," balasku

Seketika mama menatapku intens, aku tidak mengerti arti dari pandangannya "kamu yang hemat Fell, nggak usah perawatan-perawatan segala. Mahal," ujar mama membuatku kian bingung, perawatan?. Aku memang bekerja di di skin klinik, tapi sungguh aku tidak pernah perawatan, bahkan memakai creamnya saja tidak. Hm... Mama memang selalu berpikir buruk tentangku, dikira aku menghamburkan uang disini.

"Ya nggak lah ma, mending uangnya kubeliin alat buat praktek," balasku m
kamu kok tambah cantik sekarang," balas mamaku menyebalkan.

"Yeee, mama aja yang nggak nyadar punya anak secantik ini," pedeku, sebenarnya wajar sih kalau mama seperti itu, karena setahun belakangan ini aku tidak pernah pulang lagi ke Palembang. Selalu saja ada cara untuk dijadikan alasan supaya tidak pulang.

"Iya deh iya, mama ngalah. Anak mama nemang cantik, mewarisi mamanya," jawaban mana tidak kalah pede, padahal didepan ada mertuanya, aduh mama... yang lembut coba.

Waktu buat berangkat dimundurkan karena para ibu-ibu menyiapkan alat masak untuk dibawa ke sawah. Ribet sekali memang, kenapa nggak beli makanan aja, kan bikin capek. Tapi kalau nyonya besar sudah bertitah, kita bisa apa. Mereka bilang hal seperti ini jarang terjadi, mereka ingin masak-masak di pondokan kakek di tengah-tengah sawah yang hijau, memasak sayur segar yang dipetik langsung dan mengambil ikan disungai, karena sawah kakek memang berdekatan dengan sungai.

Kami berangkat menggunakan mobil om-ku. Tetapi tiba-tiba tetangga depan rumah nenekku menawarkan untuk mengantar kami saat melihat banyak keluarga yang ikut, namun penawarannya kutolak karena mobil om-ku masih cukup buat mengangkut kami. Aku sebenarnya agak risih dengan orang itu, dia selalu menawarkan untuk mengantarku, dia juga sering bermain catur dengan kakekku kemari. Kemarin dia mencoba melamarku saat aku kerumahnya yang saat itu lagi disuruh nenek mengantar makanan kesana, namun lamaran itu kutolak. Enak saja, dekat tidak kenal tidak eh, mau lamar-lamaran.

Setelah sampai kesawah kulihat pemandangan yang indah menghijau luas, kurasakan udara begitu segar, cuaca disini sangat dingin padahal semalam tidak hujan. Sepertinya aku betah disini

Pertemuan KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang