[12] Ambyar Seketika

318 57 26
                                    

"Sar? Udah nyampe."

Gian menepuk pelan bahu Sarra setelah menepikan mobilnya. Kini mereka telah berada di depan pintu pagar rumah Sarra setelah sang wanita mengajaknya untuk segera diantarkan pulang dengan alasan kurang enak badan. Walau pesta masih berlangsung, namun Gian terpaksa menuruti keinginan Sarra tanpa bertanya lebih jauh.

Entahlah, Sarra tiba-tiba menjadi tidak banyak bicara sekembalinya ia dari toilet. Bahkan, selama perjalanan pulang barusan mereka hanya diselimuti keheningan dan Gian mendapati Sarra tengah tertidur pulas di kursi sampingnya.

Menyadari tepukan Gian, Sarra yang ditarik paksa dari alam mimpinya terperanjat dengan pandangan mengedar. Ia terdiam sesaat seraya mengucek matanya—mengumpulkan nyawanya yang masih berterbangan di dimensi lain—untuk kemudian melepaskan sabuk pengamannya. "Makasih ya, Gi."

"Lo gak apa-apa?" tanya Gian khawatir.

Sarra mengangguk yakin sebagai jawaban. "Gak apa-apa. Mungkin cuma butuh istirahat aja."

"Maaf ya, Sar. Gue malah ngajak lo pergi di saat kondisi lo kayak gini."

"Kan kata lo gue lagi bayar utang. Kita impas kan sekarang?"

Melihat senyum merekah dari Sarra membuat Gian mengukir lengkungan yang sama di sudut bibirnya. "Makasih udah nemenin gue."

Sarra mengangguk sebelum menyampirkan tas kecilnya lalu keluar dari mobil Gian. Namun belum sempat Sarra melangkah mendekati pagar, Gian dengan terburu membuka pintu mobilnya demi berteriak memanggil sang wanita. Sarra yang menoleh kaget kini mendapati Gian berdiri kaku di hadapannya. Pria itu menunduk sesaat sebelum menatap Sarra dengan rahang yang terlihat mengetat.

"Kenapa, Gi?"

"Hubungin gue kalau lo kenapa-napa."

Sarra tersenyum. Oh, ayolah! Ia bukan anak kecil lagi hingga perlu dikhawatirkan secara berlebihan. "Gue gak akan kenapa-napa, Gi. Paling juga besok juga udah mendingan."

"Kalau lo gak kenapa-napa juga hubungin gue."

Sarra mengernyit. Ia yang otaknya masih kleyengan makin bingung sama kalimat singkat Gian yang sulit dicerna.

"Gue serius, Sar. Gue mau lo pertimbangin gue." Gian menjeda. Jakunnya terlihat naik turun—menelan salivanya yang terasa pahit dan mengganjal—akibat rasa gugup yang seketika melanda. Manik pekat Gian sempat bergerak gelisah sebelum menatap lekat Sarra tanpa berkedip. Ia terdiam sesaat, kembali mengumpulkan keberaniannya untuk berterus terang. "Gue mau lo pertimbangin status gue."

Deg!

Sarra mengerjap heboh, sementara Gian yang masih betah memandanginya kini malah melengkungkan senyum geli. Ia kini telah terlihat lebih santai karena melihat reaksi lucu Sarra yang sudah diduganya akan seperti ini. Mendapati Sarra yang hanya menjawabnya dengan keheningan membuat Gian bergerak selangkah dengan mencondongkan tubuhnya—membuat tingginya sejajar dengan Sarra. "Lo tahu dari dulu gue gak pernah main-main, Sar."

Setelah mengatakan hal itu, Gian mengacak-acak rambut Sarra gemas dengan senyum gusinya yang membuat hati Sarra meluruh di tempat. Tanpa Sarra tahu, pria yang kurang ajar rupawan nan penuh kejutan ini telah mantap dengan keputusan yang dipilihnya belum lama ini. Gian telah siap membuka lembaran baru. Gian telah meyakinkan hatinya untuk mencari pendamping demi melengkapi hidupnya.

Dan, orang yang dipilih Gian untuk membuka awal dari lembaran baru di hidupnya adalah wanita di hadapannya, Sarra.

*****

Jam kantor telah usai dan kini Sarra telah selesai mengeringkan wajahnya saat Hani datang dan berdiri bersebelahan dengannya—memulai aktivitas mencuci muka yang persis dilakukannya beberapa menit lalu.

S T A T U STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang