Sarra melangkah tergopoh dengan ponsel di genggaman. Telunjuknya hampir menyentuh tombol lift sebelum—
Ting!
Pintu lift di hadapannya terbuka lebar dan menunjukkan wujud nyata sang pria yang menjadi alasannya berjalan terburu.
"Hai!" Gian menyapa dengan senyum lebarnya—membuat Sarra membeku di detik itu dan hanya mampu mendesah setelahnya. "Buru-buru banget pengen nemuin gue! Kangen?"
"Gue baru banget mau nyamperin lo ke bawah." Sarra melangkah mundur saat Gian selangkah mendekat ke arahnya.
"Kenapa? Gak mau orang kantor lihat lagi?"
Sarra berdeham keki sebagai jawaban dengan manik yang mengedar—melihat situasi sekeliling. Untungnya, saat ini kantor sudah sepi dan di lantai ini sepertinya hanya Sarra sang penghuni terakhir yang masih betah berada di sini. Hani dan beberapa bawahannya yang lain telah izin pulang lima belas menit yang lalu sebelum Gian menghubunginya—mengatakan jika ia tengah berada di perjalanan untuk datang menemui Sarra di kantor.
Hendak menemuinya di parkiran, ternyata pria yang selalu bertindak tak terduga itu telah bergerak duluan untuk mendatangi Sarra di ruangannya.
"Gue cuma mau ngasihin ini doang, kok." Gian mengulurkan sekantung makanan cepat saji dan juga kopi yang baru saja dibelinya. "Lo belum makan, kan?"
"Yuk, masuk dulu ke ruangan gue!"
Gian yang tadinya hendak berbalik pergi kini malah melotot heran saat Sarra berjalan mendahuluinya untuk mempersilakan masuk ke ruangannya—kali ini tanpa paksaan. "Sering-sering aja lo lemburnya, biar gue bisa disambut baik gini di ruangan lo."
Sarra yang telah duduk di sofa mendelik bengis—membuat Gian mengangkat kedua tangannya sebagai tanda perdamaian sebelum menyecahkan diri di samping pemilik ruangan.
"Kerjaan lo masih banyak?" tanya Gian.
"Lumayan. Kayaknya lusa baru beres."
"Lembur lagi?"
Sarra mengedikkan bahunya pasrah seraya mendesah lelah. Kiranya Sarra menyetujui pertanyaan Gian. Tanpa basa-basi, Sarra membuka makanan dari Gian dan langsung menatap lapar. Maklum, semenjak tadi siang hingga kini jam menunjukkan hampir pukul sembilan malam perutnya memang belum terisi kembali. "Lo udah makan?"
"Udah."
"Jill gimana?"
"Udah seger lagi, kok. Katanya perutnya udah gak nyeri lagi. Besok juga kayaknya udah bisa sekolah."
"Syukur, deh." Sarra mengangguk lega seraya menyantap makan malamnya. "Jam segini... gak apa Jill ditinggal sendiri?"
"Gak apa. Dia udah biasa kok gue tinggal-tinggal buat kerjaan."
"Tapi jangan kebanyakan ditinggal juga, Gi. Kasian."
"Makanya kalau lo ada waktu sering-sering main ke rumah gue. Temenin Jill."
KAMU SEDANG MEMBACA
S T A T U S
RomansaBagi Sarra, melajang di usianya yang ke-35 bukanlah suatu masalah. Menurutnya, hidup itu hanya tentang sebuah pilihan. Dan, Sarra sangat menghargai keputusan hidupnya meski terkadang harus mengelus dada akibat status 'perawan tua' yang disematkan pa...