Bab 7

548 69 0
                                    


"Apa yang kamu lakukan Jinseok-ah?" ucap lelaki itu sambil melingkarkan tangannya ke pinggang ramping Seokjin. Tak lupa wajahnya ia sandarkan ke bahu bidang kekasihnya.

"Kau tak lihat? Aku sedang sibuk menyiapkan pakaianmu untuk berangkat ke kantor."

Lelaki itu tersenyum manis malah semakin erat memeluk Seokjin. 

"Hei.. lepaskan. Biarkan aku selesaikan segara, agar kau tak terlambat."

Lelaki itu pun mengalah menjauhkan badannya dari Seokjin. Namun, ia malah membalikkan tubuh Seokjin agar menghadapnya.

"Kau sudah seperti suamiku saja. Jadi tak sabar," ucapnya. "Makasih, sayang. Aku sangat mencintaimu." ucap lelaki itu sambil mengecup kening Seokjin lama. Seokjin memejamkan matanya. Merasakan lembut bibir lelaki itu berada di keningnya.

Hingga sebuah suara mengejutkan keduanya. 

"SEOKJINNN!!!" 

"A-ashton.." jawab Seokjin terkejut. Ia melihat ke arah orang yang mengejutkannya.

"Jinseok... jangan pergi...jangan tinggalkan aku lagi..." 

"Seokjin kemarilah. Pergilah denganku. Noah menunggumu..."

"Jinseok-ah...."


Seokjin terbangun dari mimpinya. Nafasnya terengah-engah. Dia mengusak wajahnya kasar. Ia menengok jam yang berada di meja. Pukul 3 pagi. 

Seokjin mecoba menormalkan nafas. Sungguh mimpi itu. Mimpi yang cukup nyata baginya. Siapa lelaki itu. Lelaki yang memeluknya. Mencium keningnya. Yang mengucapkan cinta kepadanya. Dan yang meminta Seokjin untuk tidak pergi dengan wajah sedihnya. Seokjin tak mengenalnya.

Seokjin melihat ke arah samping, Noah sedang tertidur pulas menghadapnya. Ia mengusap lembut rambut putranya yang sedikit berantakan.

"Sepertinya Papa merindukan Daddymu." ucap Seokjin.

Ia kembali membaringkan badannya. Menatap langit-langit kamar itu. Detak jantungnya sudah kembali normal. Kembali mencoba memejamkan matanya dan kembali ke alam mimpinya. Dia ingin melanjutkan mimpi itu.

Untuk memilih pergi bersama Ashton. Bukan lelaki yang tak ia kenal.


Di luar pintu kamar itu..

Seseorang tengah berdiri mematung menatap nanar pintu bercat coklat di depannya. Tak ada niat untuk membukanya maupun pergi dari sana. Seolah kakinya terikat kuat pada lantai itu.

Wajah lelaki itu sungguh tak bisa dibaca. Sedih. Rindu. Bahagia. Marah. Entah semuanya bercampur menjadi satu. Nafasnya memburu. Jantungnya berdetak tak karuan. Seorang ketua mafia yang terlihat tak berdaya hanya dihadapkan sebuah pintu coklat.

Pintu yang berisi seseorang yang sangat berarti untuknya. Seseorang yang selalu ia tunggu. Seseorang yang membuat ia menjadi seperti ini.

"Kak Namjoon..." suara Jimin dari arah belakang lelaki itu. Jimin dan Taehyung sudah memperhatikan Namjoon sejak beberapa menit lalu. Mereka hanya melihat pemandangan punggung seseorang yang terlihat ringkih berdiri tanpa nyawa. "Kau baik-baik saja?" ucap Jimin yang sudah di samping Namjoon.

Namjoon hanya bergeming.

"Beristirahatlah Kak.. Semenjak dari Seoul kau tampak tak tenang. Pandanganmu kosong. Sungguh aku khawatir." ucap Jimin.

Namjoon masih terdiam.

"Apa perlu kita seret saja, Jim?" ucap Taehyung yang sudah kesal.

Tiba-tiba Namjoon semakin mendekati pintu itu yang membuat Jimin dan Taehyung mengerutkan dahinya. Namjoon berhenti tepat 10 cm dari pintu itu. Ia mengangkat tangannya menyentuh daun pintu itu. Dan ia menempelkan dahinya. Sambil memejamkan matanya, sebuah air mata mengalir dipipinya. Malam itu Namjoon kembali jatuh. Suara lirih keluar dari mulutnya.

"Jinseok-ah..."

"Jinseok-ah.. aku merindukanmu..."


***

Seoul, 30 April 2010

"Namjoon-ah makan dulu, Nak." 

Namjoon masih terdiam. Menatap hampa jendela ruangan itu. Hari ini adalah tiga hari kembalinya dari rumah sakit.

Wanita paruh baya itu menatap sedih putranya. Namjoon masih sering mengamuk setelah hari itu. Malah semakin tak terkendali emosinya. Terkadang ia menangis, tersenyum, bahkan meracau tak jelas. Namjoon juga mengalami mimpi buruk. Hingga lihatlah sekarang, wajah pucat, mata yang menghitam, tubuh kurus, dan kaki yang pincang. 

"Namjoon-ah... Ibu mohon jangan sepert ini Nak." Masih tak ada jawaban dari lelaki yang duduk di kursi roda itu.

Ibu Namjoon menghembuskan nafas berat. Ia lelah dan terpukul setelah kemarin putranya itu mencoba untuk bunuh diri saat emosinya tengah meledak-ledak. Hingga keluarga Kim memutuskan untuk menyiagakan beberapa pengawal untuk menjaga putranya. Sungguh Namjoon mengalami depresi yang luar biasa. Seolah jiwanya tidak bersama dengannya.

"Permisi Nyonya." Seorang pembantu memasuki ruangan itu. "Nyonya ada Tuan Hoseok yang ingin menemui Tuan Muda Namjoon."

Nyonya Kim terdiam sebentar. "Suruh dia masuk." titahnya sambil bangkit dari samping putranya. Dan seorang laki-laki besurai coklat memasuki ruangan itu sambil menunjukkan senyum cerahnya. 

Ibu Namjoon membalas senyuman itu. "Gimana kabarmu, Nak Hoseok?"

"Baik Tante." ucap Hoseok sambil menundukkan tubuhnya. "Apa saya mengganggu?"

"Tidak." Ibu Namjoon melirik sekilas putranya. "Seperti biasa Namjoon masih sulit diajak komunikasi." lanjutnya dengan wajah sedih. "Akan aku tinggalkan kalian."

"Baik Tante. Saya akan coba membujuk Namjoon."

"Terimakasih, Nak." jawab Ibu Namjoon sambil berjalan keluar.

Hoseok terdiam menatap sahabatnya yang tak terganggu akan kehadirannya. Hoseok berjalan mendekat ke tempat Nyonya Kim sebelumnya.

Hoseok menepuk bahu Namjoon. Tapi tidak ada respon sama sekali.

"Joon..." panggil Hoseok. "Jika kau tak ingin berbicara cukup dengarkan aku."

Hoseok menghembuskan nafas dalam. 

"Aku akan ke New York." mulainya. "Aku akan menjadi matamu di sana. Akan aku jaga Seokjin untukmu."

Sebuah reaksi kecil tampak di wajah Namjoon. 

"Kau tau kan jika Seokjin kehilangan ingatannya. Seokjin butuh waktu untuk mengembalikan semuanya, Joon." jeda Hoseok. "Aku yakin Seokjin akan kembali kepadamu. Tunggulah sampai saat itu Joon. Jangan kau buat dirimu seperti ini. Kuatkanlah dirimu sampai tiba saatnya nanti."

Sebuah bulir air mata menetes pada wajah Namjoon. Namjoon memejamkan matanya. Tiba-tiba rasa sakit menghujam jantungnya. 

"Aku berjanji untuk membawa Seokjin kepadamu. Jadi, kau harus sembuh dulu. Oke?"

Hening. Hanya terdengar suara isakan rendah. Hoseok menepuk lembut pundak sahabatnya itu. Ia sudah membuat suatu janji yang tak mudah untuk ditepati. Hosoek sedikit ragu sebenarnya, apakah dia mampu membawa Seokjin kembali.

"Hoseok-ah..." suara parau Namjoon terdengar di sela isakannya. Suara yang ia keluarkan pertama kalinya di hari itu. "Aku merindukan Jinseok.." 


***

Mine.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang