Chapter 1

5.5K 503 13
                                    

Nayla mengusap air matanya. Ia bangkit berdiri karena harus segera meninggalkan rumah mewahnya. Entah harus pergi ke mana. Semua teman yang dulu dekat pada menjauhinya, begitupun dengan saudaranya. Orang tuanya dulu membangun sekat yang terlalu tinggi, tidak pernah dekat dengan saudara-saudaranya. Maka hal wajar, jika di saat keluarganya runtuh, tidak ada satu pun yang mengulurkan tangan.

Nayla berusaha mematikan ponselnya, karena merasa tidak kuat membaca pesan yang isinya adalah sumpah serapah—yang dikirim oleh teman-temannya—melalui pesan watsapp, Inbox,  dan juga DM. Tidak terhitung dengan komentar pedas dan julid di medsos baik itu FB, IG, bahkan ada yang kurang kerjaan bikin tagar tentang dirinya di twiterr, hingga menjadi trending. Netizen julid, jika ada orang sedikit terkenal punya masalah, mereka akan kepo, dan melacak jejak digitalnya. Bahkan penampilannya yang menggunakan bikini jadi bahan cibiran, mengatakan dirinya murahan, dan tak punya rasa malu.

Tiga hari ini, Nayla menjadi seorang terdakwa. Masalah hidupnya dikuliti habis-habisan, jadi berita terhangat, menyaingi kasus ayahnya. Dibahas di media, baik itu media televisi, maupun media sosial. wartawan bolak-balik datang, dengan memberikan pertanyaan yang bikin kepala Nayla nyut-nyutan. Ia geram setengah mati pingin memaki-maki, atau menghancurkan apa yang ditemuinya, tapi sayangnya, sekarang ia sudah tidak punya taring untuk melawan. Gelar Ratu Shoping, dan Ratu Pesta, sekarang sudah bukan miliknya lagi, berganti dengan julukan Putri Penuh Derita.

Menjalani masa depan, hanya ada sedikit bekal tabungan yang belum tentu cukup untuk hidup sebulan karena uangnya sudah habis digunakan untuk merakayakan pesta ulang tahun yang cukup jor-joran seminggu yang lalu.

Nasib manusia sungguh tidak bisa diterka. Seminggu kemarin dia masih hidup mewah melebihi putri raja. Bersenang-senang menghabiskan banyak uang, tertawa riang dengan teman-teman yang hanya memanfaatkannya, tapi lihat sekarang, dia terlihat menyedihkan, tidak punya apa-apa. Tidak ada siapa-siapa. Bahkan rumah sekedar tempat berlindung pun sudah tidak ada. Sebentar lagi dirinya akan jadi gembel di jalanan. Mungkin gembel lebih bermartabat, karena dia tidak pernah memakan uang rakyat.

Suara bel rumah berbunyi, membuyarkan tentang segala rasa kesedihan yang berkalaborasi dengan kehilangan dan juga ketidak berdayaan. Sebuah kesalahan fatal yang dilakukan ayahnya membuat ia kehilangan segala kesenangan dan juga impiannya.

Bel kembali berbunyi beberapa kali, sepertinya orang yang datang, sudah tidak sabar menunggu. Siapa orang kurang kerjaan yang sudah berani merusak ratapan nestapanya? Nayla mempercepat langkahnya menuju pintu depan, dan pintu dibuka dengan lebar.  Sosok pemuda dengan tubuh menjulang tinggi, menggunakan jaket dengan tulisan 'Pembela Rakyat' di belakang punggungnya berdiri kokoh membelakangi pintu. Entah apa yang sedang ditatapnya.

"Siapa?" tanya Nayla serak. Dari kemarin ia menangis, menangisi hidupnya yang berubah menjadi orang paling malang sedunia. Kesedihan itu lebih terasa menyakitkan ketika tak ada tempat bersandar. Mungkin jika ada teman yang peduli, Nayla tidak bakal serapuh ini.

Tubuh tinggi itu membalikan badannya, rambutnya yang panjang melewati bahu, dibiarkan tergerai begitu saja. Untungnya tatanan rambut itu rapi, kalau lepek dan kusam pasti akan terlihat seperti preman di jalanan.

"Galang?" Nayla terkejut melihat sosok itu muncul di depan rumahnya.

Ada angin apa laki-laki itu kemari? Galang bukan termasuk orang yang kagum akan kecantikannya, atau masuk jajaran yang mengaguminya diam-diam atau terang-terangan. Laki-laki itu juga, tidak kenal dekat dengannya. Nayla hanya sekedar tahu saja, karena teman-teman di kampus dulu banyak membicarakannya. Galang adalah kakak kelasnya, dia tiga tingkat di atas Nayla saat di kampus dulu. Dia sangat familiar, karena seorang aktivis.  Mahasiswa kritis yang paling getol mengoreksi kebijakan penguasa. Bisa dikatakan dia selalu berada di garda terdepan jika berhadapan dalam soal mengkritik kebijakan penguasa yang menurutnya merugikan rakyat. Pemuda sok idealis, begitulah menurut Nayla.

Galang tersenyum dengan sinis, tatapan matanya yang setajam elang bikin Nayla bergidik ngeri. Mulut laki-laki ini sangat berbisa jika berbicara. Mampu membungkam lawan bicaranya mati kutu. Dia tidak pernah takut pada apapun. Luar biasa. Kalau seandainya laki-laki itu tidak sok pintar, sok idealis, sok ngurusi pemerintah. Dia cukup mudah untuk dicintai para wanita. Tapi mana punya banyak waktu untuk wanita, bagi orang sesibuk Galang. Hidupnya didekikasikan untuk berpikir, diskusi, rapat, demo dan rakyat. Sama sekali tidak ada pesta, apalagi tahu model pakaian terbaru kaum Adam yang lagi hits. Lihat aja penampilannya, sangat jauh dari standar cowok metropolis.

"Rupanya putri sang koruptor yang gila shoping, gila pesta serta paling gemar memamerkan kehidupan hedon-nya mengenali seorang Galang. Luar biasa. Ini sangat mengejutkan!" sinis Galang.

Nayla menghembuskan napasnya dengan berat. Kalau ayahnya masih punya kekuasaan, ingin saja mengusir Galang dari rumahnya. Eh, bukan rumahnya, karena sebentar lagi akan terusir.

"Kamu mau apa menemuiku? Rasanya kita nggak pernah punya urusan!" ketus Nayla.

"Wow ... aku kaget, ternyata kamu masih punya keberanian. Aku datang cuma mau ngucapin rasa sukacitaku atas tertangkapnya seorang koruptor, dan lihat di depan gerbang, aku  mengirim karangan bunga, sebagai bentuk kegembiraanku, karena telah tertangkapnya koruptor di negri ini." 

"Terimakasih pahlawan idealis atas ucapan sukacitanya." Nayla tersenyum sinis.

Baginya, Galang tak lebih sebagai pahlawan kesiangan yang sok moralis dan idealis. Di mata Nayla, Galang tak jauh beda dengan ayahnya di masa muda yang belum memiliki banyak kepentingan. Berkoar-koar menuntut para koruptor diadili, mengkritik kebijakan penguasa yang menyengsarakan rakyat, yang mencabut subsidi BBM, mencabut subsidi listrik, menaikan pajak, dan mengoalkan UU yang banyak menguntungkan Asing, dsb. Namun, Nayla jamin, orang seperti Galang akan melakukan hal yang sama ketika dia masuk ke dalam politik pragmatis. Karena sistem Demokrasi adalah sistem termahal dimuka bumi yang membutuhkan banyak modal. Seperti halnya apa yang dikatakan oleh Mark Twin.

Nayla bukan orang yang bodoh soal politik, bahkan ayahnya mencekokinya supaya ia terjun ke politik untuk memperkuat dinasti politiknya.

"Lebih hina mana pahlawan idealis dengan putri koruptor? Hidupku tidak pernah dibesarkan dengan uang haram yang merugikan banyak orang," ucap Galang cukup menohok hati Nayla.

Nayla menghela napas dalam. Sungguh ia tidak punya tenaga untuk berdebat dengan Galang yang pintar beretorika, jago orasi di lapangan. Sia-sia bagi Nayla berbicara dengan Galang yang tidak bisa bersikap ramah kepadanya.

Laki-laki itu datang hanya ingin melihat kehancurannya. Entah karena memiliki dendam pribadi apa? Selama ini, Nayla tidak pernah berurusan dengan Galang yang jauh dari jangkauannya. Merebahkan diri di atas kasur, sebagai perpisahan jauh lebih baik. Karena esok dan seterusnya belum tentu ia bisa merasakan kehidupam mewah, dan bisa tidur nikmat di kasur mahalnya, yang terbuat dari bulu angsa.

"Terimakasih atas kalimat pahitnya, Galang. Tapi tolong kamu segera pulang, karena aku tidak ingin berdebat dengan kamu. Jika kamu ingin melihat kehancuran putri koruptor, selamat, karena hari ini kamu sudah melihatnya sendiri. Jika kamu ingin melihatku jadi gembel, sebentar lagi kamu akan melihatnya, karena aku akan segera meninggalkan istana megah ini. Jadi, sekarang kamu sudah bisa pulang." Nayla berniat menutup pintu, tapi ditahan oleh Galang.

"Ikut bersamaku." Galang menarik tangan Nayla.

"Apa maksudmu, Galang? Lepas, aku tidak ingin ikut dengan siapapun. Berhentilah sok peduli."

"Peduli? Aku tidak sudi untuk peduli pada wanita semenyebalkan kamu, Nayla. Kamu wanita manja, matre yang akan merepotkan hidupku."

"Terus kenapa aku harus mengikutimu?"

Galang mengangkat bahu acuh. "Aku hanya tidak ingin melihat putri koruptor, akan berubah jadi seorang pelacur. Pasti itu lebih menggenaskan. Menyelamatkan martabat perempuan jauh lebih baik, dan ingat itu bukan berarti aku peduli. Melihat kamu masih memiliki harga diri, dan merasakan hidup sulit, itu lebih bikin aku puas!"

Nayla membeliakan matanya. Kata-kata Galang benar-benar sangat merendahkannya. Ia memang suka memakai baju yang mengumbar keseksiannya, namun bukan berarti murahan. Hingga harus menjual diri. Menampar mulut Galang adalah hal yang ingin dilakukan Nayla saat ini.

"Kalau aku tidak mau," tolak Nayla.

"Kamu nggak punya pilihan selain mengikuti keinginanku "

Nayla berdecih, dasar si manusia pemaksa yang sangat menyebalkan. Siapa dia, berani mengatur hidupnya? []

NOKTAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang