Chapter 11

3.1K 539 66
                                    

Berada  dalam tempat yang sama dengan Nayla dan anak-anak sampai menjelang maghrib seperti ini, memang tidak bisa dibenarkan. Tapi entah kenapa Galang merasa senang, ia sangat bersyukur pada hujan deras yang turun dari tadi sore, sehingga membuat ia terjebak  untuk terap berada disini. Barusan ia lihat berita di TV, bahwa jalan yang biasa dilewatinya untuk pulang menuju bengkel diterjang banjir, mengakibatkan jalanab macet total. Mobil dan motor susah bergerak, akibat genangan air yang cukup tinggi.

Jakarta dari masa ke masa selalu tidak siap menghadapi kemacetan dan Banjir.  Disebabkan pembelian mobil dan motor tidak dibatasi, sedangkan mobil-mobil yang sudah tua masih tetap beroperasi. Atau selama masyarakat diberikan kemudahan untuk leasing kendaraan, orang yang belum sanggup beli akan memaksakan diri untuk berhutang demi gaya hidup. Dan Jakarta selama pembangunan gedung-gedung bertingkat, perkantoran, rumah mewah dilakukan secara jor-joran, dengan mengesampingkan drainase yang baik, banjir akan tetap datang menerjang. Sangat sulit memperbaiki kota padat penduduk era kapitalis, dengan peraturan yang lemah, dan kesadaran masyarakatnya kurang.

Galang menemani Nata belajar, sekaligus menemani Tegar bermainan mobil-mobilan. Anak-anak itu cukup senang dengan kehadirannya. Ia berasa jadi Ayah yang diberikan tugas oleh istrinya, yaitu menemani anak-anak.

"Om Galang, kenapa tidak berada disini aja setiap hari?" tanya Nata dengan mata fokus menatap buku paket B. Indonesia.

Maunya sih, gitu. Bisik Galang dalam hati. Tapi apa kata orang-orang nanti, kalau ada dua orang dewasa tinggal satu rumah tanpa ada ikatan pernikahan. Bagaimana nanti reaksi Ilham yang paling getol mengingatkan, bahwa berduaan dengan perempuan itu dosa, bisa mengakibatkan maksiat ujung-ujungnya. Karena Nata dan Tegar nggak bisa dimasukan orang ketiga yang akan selalu mengingatkan dan mengawasinya. Mereka masih anak-anak yang belum ngerti apa-apa. Ada banyak orang dirumah,  bagi anak-anak selalu menyenangkan. Apa ia harus menikah dulu, dan apakah Nayla mau menikah dengannya. Ah, kenapa jadi berpikir menikah dengan Nayla.

Nayla yang menjadi pusat pikiran Galang saat ini, sedang berkutat didapur. Ia berniat bikin bolu pisang. Pasti rasanya akan nikmat, memakan bolu hangat-hangat, dan pas cuaca dingin kayak gini. Tadi  pagi dia kewarung melihat pisang ambon, dan kepikiran buat bikin bolu.

"Suatu saat kita akan tinggal bersama, sekarang Om masih banyak kesibukan." Galang mengusap rambut Nata.

"Benar ya, Om. Nata kalau ada Om dan Tante Nayla merasa punya keluarga dan orang tua lengkap."
Mata Nata berbinar riang ketika mengucapkannya.

"Tante Nayla baik sama kalian?" Galang ingin tahu langsung dari mulut Nata bagaimana sikap Nayla dirumah, selama dirinya tidak ada.

"Baiik bangeeet. Tante Nayla selain cantik, masakannya enak, dia juga suka ngajak main kita, biar tidak bosan. Saat mau tidur pasti Tante Nayla mendongeng, dan aku suka dongeng Tante Nayla tentang putri cantik yang ketemu pangeran."

"Syukurlah Om senang dengarnya kalau Tante Nayla memperlakukan kalian dengan baik."

Galang tampak berpikir, menikahi Nayla dan membawa Nata serta Tegar akan melibatkan mereka kedalam banyak bahaya. Sebagai pengacara yang banyak mengungkap kasus kejahatan, keluarga pun tidak akan lepas dari teror dan ancaman. Karena banyak orang yang tidak suka kehidupannya di usik Galang, saat kejahatannya berhasil di ungkap.  Biasakah ia melindungi mereka. Hidup sendiri, lebih minim resiko, karena hanya dirinya yang akan jadi target.

Pusing memikirkan itu, Galang memilih pergi kedapur karena kerongkongannya merasa haus. " Om ambil minum dulu, kamu jaga adeknya sebentar ya?" pesan Galang pada Nata.

"Kamu sedang membuat apa?" tanya Galang yang kini sudah berada di dapur.

Nayla terkejut dengan kemunculan Galang. Dia baru saja mengeluarkan bolu yang sudah matang dari oven.

NOKTAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang