Chapter 4

3.4K 407 9
                                    

Nayla memasuki rumah bergaya kolonial itu dengan langkah ragu-ragu. Rumah yang Nayla masuki, sangat jauh dari rasa nyaman. Jika dibanding dengan rumah mewahya yang memiliki banyak fasilitas. Tetapi, untuk ukuran orang yang sudah terbuang dan tidak punya tempat tinggal, rumah ini sangat layak untuk dijadikan tempat berlindung.

"Dimana kamarku?" tanya Nayla pada Galang. Sungguh hari ini, ia hanya ingin segera mengistirahatkan tubuh lelahnya.

"Buang sifat sombong kamu selama berada di sini. Mulai sekarang kamu jadi babu, dan pengasuh anak-anak," bisik Galang sambil menatap Nayla dengan tajam.

Nayla menggigit bibir. Harusnya ia sudah tahu, dari awal Galang nggak akan pernah memperlakukannya dengan baik.

"Aku kan’ cuma bertanya, dimana kamarku? Kenapa jadi bahas tentang kesombongan?" Nayla merasa tidak terima dengan pernyataan Galang.

"Sebagai orang yang numpang hidup, kamu harus tahu diri. Dan turunkan nada suara kamu yang menyebalkan itu," ujar Galang sarkas.

Nayla memilih menatap langit-langit ruangan tamu dengan napas lelah. Percuma ia mendebat Galang juga, nggak bakal menang.

"Ayo, aku antarkan kamu ke kamar yang bakal kamu tempati, tapi itu hanya untuk menyimpan barang-barangmu. Setelah itu kamu siapin makanan, karena aku dan anak-anak merasa lapar."

Nayla ingin mendebatnya, kalau ia merasa sangat lelah. Tapi melihat tatapan Galang, bikin dirinya menciut.

Galang mengantarkannya ke kamar yang berada didekat dapur. Mungkin awalnya, ini adalah kamar yang biasa digunakan oleh pembantu. Mendadak rasa sedih menyeruak hati Nayla, kenapa nasibnya harus berubah seperti ini?

"Silakan masuk dan simpan barangmu, setelah itu keluar dan sediakan makanan," perintah Galang sambil berlalu.

Nayla menendang kopernya dengan kesal. Kenapa ia harus diperlakukan seperti pembantu? Namun, sekarang bukan saatnya menangis. Sekarang saatnya membuktikan kalau dirinya tidak semanja yang orang lain kira. Urusan memasak bagi Nayla merupakan perkara mudah, dari mulai masakan nusantara, Asia, sampai Eropa, Nayla bisa melakukannya. Karena ia pernah ikut kursus memasak, tapi bukan merangkap menjadi tukang rapi-rapi dan cuci piring. Itu pekerjaan yang bikin dia ogah, dan lebih banyak ART yang mengerjakannya.

Hanya ada brokoli, udang, dan tempe ketika Nayla membuka kulkas. Ia bingung harus masak apa dengan bahan seperti itu.

Membuat cah udang brokoli mungkin lebih simple, dan goreng tempe. Udah itu aja, kenapa ia harus meribetkan diri untuk memuaskan lidah dan perut orang lain. Malah akan lebih baik, jika makanannya dibubuhi dengan racun. Ah, tapi ia tidak sejahat itu. Nasibnya akan dobel menggenaskan kalau sampai hal itu terjadi. Bisa jadi dirinya akan meringkuk dibalik jeruji seumur hidup.

Nayla mulai memisahkan kulit udang satu persatu. Rasanya agak riskan karena tangan lentiknya nanti bisa rusak, akibat digunakan untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Selama hidupnya, ia hanya sesekali masuk dapur, itu pun kalau ia lagi menginginkan makanan hasil olahannya sendiri.

"Tante, boleh Nata bantuin?" tanya gadis manis yang bernama Nata mendekati Nayla.

"Oh ... Boleh banget Nata." Nayla tersenyum mencoba bersikap ramah pada anak-anak. Meski tidak terbiasa. Ia anak tunggal yang jarang berinteraksi dengan anak-anak.

NOKTAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang