Chapter 8

3.1K 411 31
                                    

Pukul delapan pagi, Galang datang ke rumah orang tua korban untuk melakukan penyelidikan—tentang mahasiswa yang bernama Rimba. Orang tua korban menyambutnya dengan ramah, meski masih tampak raut kesedihan di wajah mereka. Terutama sang ibu yang sepertinya belum bisa menerima kepergian putranya yang teragis itu. Orang tua mana sih yang  bisa merelakan kepergian anaknya.

Galang mulai mengajukan beberapa pertanyaan pada orang tua Rimba.
“Rimba adalah anak yang baik. Dia putra kebanggaan kami selama ini. Saya tidak terima jika putra saya dikatakan bunuh diri karena  diputusin pacarnya. Hubungan kami sangat dekat. Dia akan menceritakan apapun tentang segala kegiatannya, baik itu di kampus, maupun di organisasi yang dia ikuti, dan saya tahu siapa saja teman-temannya.

Rimba tidak punya pacar, itu yang saya ketahui. Karena kalau punya pacar, dia pasti akan mengenalkanya pada saya keluarganya. Rimba pernah bilang, belum punya keinginan untuk memiliki pacar, karena mau fokus kuliah dan mengejar impian-impiannya.” Ibu Rianti menjelaskan tentang anaknya dengan suara bergetar, syarat menahan beban kesedihan.

“Benar apa yang dikatakan istri saya, Pak Galang. Saya melihat anak saya, sebelum beliau meninggal, dia tidak memiliki masalah di kampuas atau dalam kehidupannya. Di keluarga, kami membiasakan keterbukaan. Semua anak-anak saya selalu menceritakan apapun, termasuk ketika mereka sedang memiliki masalah. Terakhir kali bertemu dengannya, dia baik-baik saja. Terlihat ceria saat mengobrol bersama saya dan ibunya. Bahkan dia menceritakan rencana-rencananya jika sudah lulus kuliah ingin mengambil gelar masternya di MIT.

Anak kami, meskipun dia meskipun sibuk di BEM, tapi anaknya punya perencanaan yang matang, dan kami sebagai orang tua pasti akan mendukung keinginan anak-anak.” Ayahnya almarhum Rimba ikut berkomentar.

Ada yang aneh dengan pernyataan orang tua Rimba dengan statmen polisi. Kenapa bisa dikatakan kasus bunuh diri, padahal Rimba tidak mengalami tekanan mental atau depresi? Dia termasuk anak yang berprestasi, pintar berorganisasi, berasal dari kluarga harmonis juga, itu hasil analisa Galang. Secara ekonomi juga mereka lumayan berada. Kedua orang tuanya adalah PNS. Ibunya adalah kepala sekolah di salah satu SMU Negeri yang ada di kota ini, sedang Bapaknya bekerja di Departemen Pertanian.

“Apakah Rimba pernah bercerita jika dia diancam seseorang?” tanya Galang.

Sebagai aktivis yang getol menyuarakan ketidakadilan pemerintah, pasti banyak pihak terutama para pemegang birokrasi kekuasaan merasa kegerahan. Karena dalam episode sejarah, pemuda selalu berada di garda terdepan dalam menyuarakan perubahan. Meskipun di masadepan banyak yang menyebur ke politik pragmatis, padahal mulanya mahasiswa paling kencang menentang pemerintah. Terutama jika ada kebijakan-kebijakan yang merugikan rakyat. Seperti kenaikan BBM, kenaikan TDL, lahirnya RUU yang tidak pro rakyat, dan kepentingan-kepentingan yang menguntungkan para kaum kapitalis.

“Kalau anak kami diancam, dia pasti akan cerita, Pak Galang. Karena seperti yang istri saya bilang, kalau hubungan kami sangat dekat. Sehingga jika anak kami menyembunyikan masalahnya, pasti kami yang paling dahulu mengetahuinya.

Rimba biasanya pulang dari kampus jam delapan malam, setelah makan malam kami selalu punya waktu mengobrol selama satu jam. Dia akan menceritakan apapun tentang aktivitasnya selama seharian. Rutinitas ini, sudah kami jalani dari anak-anak kami masih SD, meluangkan waktu mengobrol dengan anak-anak, selelah apapun itu.”

Pak Dimas ayahnya almarhum Rimba menjelaskan kebiasaannya saat bersama dengan anak-anaknya. Keluarga yang patut dicontoh.
Penjelasan Pak Dimas membuat Galang tersentuh, dan ada sedikit ada rasa iri menyusup hatinya. Ia tidak pernah memiliki kedekatan yang baik dengan ayahnya. Yang Galang ingat dari sikap ayahnya adalah kata-kata kasar dan suka main tangan.

NOKTAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang