Chapter 7

3.3K 410 22
                                    

Galang membuka berkas perkara yang disodorkan oleh  Bang Diaz, sebuah kasus baru  tentang terbunuhnya  seorang mahasiswa yang akhirnya  dinyatakan  sebagai kasus bunuh diri. Tapi banyak keanehan dari kasus tersebut. Seorang mahasiswa cerdas, kritis dan memiliki banyak teman, sangat tidak mungkin melakuan tindakan konyol dengan mengakhiri hidupnya, itu menurut pandangan orang-orang. Sebagian teman-teman dekatnya tidak ada yang percaya percaya, jika Rimba melakukan bunuh diri. Dia orang yang sangat baik, dan humble. Keluarganya tidak menerima, jika sang anak dikatakan bunuh diri. Karena seminggu sebelum mahasiswa itu meninggal, dia baik-baik saja. 

“Gue nggak yakin, kalau itu anak bunuh  diri,” ujar Bang Diaz yang menjadi rekan kerja Galang.

Galang menaikan alisnya, “Kenapa Abang bisa seyakin itu?”

Bang Diaz tertawa, “Lu, kaya bukan seorang Galang aja yang selalu memiliki analisis yang cerdas pada sebuah kasus, dan  selalu jadi macannya hukum. Gue denger, pembunuhan ini melibatkan anak seorang jendral besar di kepolisian, makanya kasusnya segera ditutup. Tetapi orang tua korban belum menerima, jadi kasusnya dilimpahin ke lu, karena kasus  lu yang kemarin, baru aja selesai. Buktikan, apa benar kasus ini melibatkan anak seorang jendral yang melibatkan cinta segitiga, murni kasus bunuh diri,  atau ada hubungannya dengan penguasa? Karena Rimba termasuk anak yang getol dalam menyuarakan ketidak adilan. Jangan biarkan kasus ini ditutup begitu saja, lalu diganti oleh kasus-kasus receh yang selalu jadi trending topik. Kita semua sudah terlalu muak dengan hukum yang ada di negeri  ini,” ujar Bang Diaz terdengar sisnis.

“Kasus gue kemarin nggak menang, Bang.” Galang tersenyum pahit.

“Kita itu pengacara yang tujuannya ingin membela kebenaran kan’ Lang. Soal menang dan kalah itu udah biasa dalam dunia hokum—yang terpenting kita tidak  jadi pengacara yang melacurkan diri membela kebobrokan hokum—hanya demi gepokan uang rupiah. Niat kita kan’ menegakan hukum, jadi fokuskan pada tujuan kita.” Bang Diaz menepuk bahu Galang. 

Laki-laki yang sudah anggap Galang  seorang kakak itu, terkadang kagum dengan semangat Galang. Tetapi anak muda seperti Galang harus sering diingatkan untuk selalu waspada. Karena apa yang dilakukannya, bisa saja mengancam nyawanya, karena saking semangatnya Galang terjun di kancah pertempuran.

“Baiklah, gue baca dulu berkas perkaranya,” Galang pun membuka map yang tadi disodorkan Bang Diaz. Selama ini, Galang lebih banyak terlibat pada kasus-kasus yang berkaitan dengan orang-orang  kecil yang hak-haknya  terampas ketidak adilan, akibat lemahnya  payung hukum. Kasus yang melibatkan terbunuhnya mahasiswa, sepertinya kasus yang sangat menarik. Apalagi seperti apa yang dikatakan oleh Bang Diaz tadi, perkara ini kemungkinan melibatkan anak seorang jendral polisi. 

“Hati-hati, Lang, langkah perjuanganm dari mulai sekarang lumayan berat. Ada banyak  kasus pembunuhan  yang ditutup begitu saja, karena orang yang berada dipihak korban bukan orang yang memiliki kekuatan financial. Akan berbeda, jika korban berasal dari pihak yang memiliki kekutan financial, maka kasusnya pasti akan bisa dipecahkan. Meski harus disiarkan di televisi secara berjilid-jilid,” ujar bang Diaz.

“Iya, Bang. Pada kasus ini, gue akan lebih berhati-hati lagi. Karena resiko seorang pengacara yang ingin menegakan kebenaran, terkadang nyawa pribadi atau keluarga bisa menjadi ancaman.”

Setelah dirasa cukup mengobrol dengan Galang, Bang Diaz melangkahkan kaki menuju meja kerjanya, sedang Galang kembali menekuni kasus pembunuhan seorang Rimba, mahasiswa sebuah kampus ternama yang ada di negeri ini.

***

Galang menyeruput mie-nya dengan nikmat. Sekarang ia sedang berada di warung sederhana yang berada di pingggir jalan, sekalian ada janji bertemu dengan Ilham.

NOKTAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang