Chapter 6

3.3K 515 97
                                    

Nayla membuka kulkas dan ia termenung untuk beberapa saat, kerena di kulkas sudah tidak ada bahan yang bisa dimasak. Kasihan dengan anak-anak, jika  ia tidak bersegera menyiapkan sarapan buat mereka.  Nata dan Teguh, meski baru kenal beberapa hari, tapi Nayla sudah jatuh cinta dengan mereka. Anak-anak yang tidak rewel, dan Nayla merasa punya adik. Selain itu, Nayla merasa senasib, bedanya kalau Teguh dan Nata tidak bakal bertemu dengan kedua orang tuanya lagi. Hidup mereka bergantung pada kasih sayang orang lain. Berbeda dengan dirinya, punya orang tua, tapi mereka tidak berada di sisinya— ayahnya berada di penjara dan ibunya, memilih pergi dari rumah.

Akhirnya Nayla pun memilih keluar, menunggu tukang sayur lewat, dan kebetulan banget saat ia sudah berada di halaman rumah, tukang sayur, sedang mangkal didekat rumah yang sekarang ia tinggali. Sudah banyak ibu-ibu yang berbelanja di sana. Sebenarnya Nayla malas harus berada di dalam kumpulan Ibu-Ibu, tapi demi bisa memasak pagi ini, ia terpaksa harus berada di antara mereka. Balik lagi ke dalam rumah berarti kelaparan.

Ibu-ibu langsung menghentikan aktivitasnya ketika Nayla muncul. Sebagian ibu-ibu malah menatap Nayla dari atas sampai bawah. Pingin saja Nayla bilang begini, ‘Kenapa lihat-lihat?’ Tetapi Nayla bersikap bodo amat. Bukannya bersikap bodo amat, bikin hidup nggak ribet.

“Mbak tinggal di rumah itu?” tanya salah seorang ibu yang memakai kebaya dan bersanggul sambil menunjukan jarinya ke rumah bergaya kolonial yang Nayla tinggali sekarang. 

“Iya, Bu,” jawab Nayla singkat dan berusaha tersenyum meskipun tipis.

“Apanya Pak Galang? Saudara, pacar atau .…?”

Nayla bingung mau jawab apa. Saudara jelas bukan. Pacarnya, amit-amit kalau ia harus punya pacar  pangeran idealis. Bisa-bisa kupingnya rusak, terus dibentak-bentak, di julidin juga. Mana mulut Galang itu pedas banget. Nggak ada manis-manisnya manusia itu.

“Bukan,” jawab Nayla pelan.

“Terus kalau saudara bukan, pacar juga bukan, jadi istrinya?” komentar ibu yang lain.

Nayla menggeleng. Ingin saja ia bilang, babunya. Karena kenyataannya ia berada di rumah bergaya belanda itu adalah menjadi babu, yang menyedihkannya tanpa digaji.

“Saya ditugaskan mengasuh Nata dan Teguh sama Pak Galang, “ jawab Nayla sambil memilih sayur.

“Oh, jadi baby sister. Bilang dong, dari tadi. Tetapi nggak salah nih, wanita secantik Mbak mau jadi baby sister? Harusnya jadi selegram, beauty vloger, atau jadi bintang iklan,” ujar ibu yang berambut pendek. Nayla sama sekali nggak berniat untuk kenalan dengan mereka.

 Nayla lebih memilih mengambil daging dan lauk, ketimbang meladeni ibu-ibu yang pingin tahu banget asal-usulnya. Ia lagi sedang males ditanya-tanya. Kalau menjawab dia itu siapa sebelumnya, mana mungkin orang percaya, dan hal itu malah akan membongkar kebobrokan keluarganya, yang pastinya akan membuat orang lain semakin bebas menghina dirinya. Bullyan media aja, ia merasa nggak kuat sampai harus me-nonaktifkan sosmednya. Apalagi bullyan dunia nyata. Sekarang terserah orang mau menganggap orang babu atau baby sister, yang penting dunia nyatanya aman karena di sini tidak ada yang mengenalinya dan semoga tidak ada yang mengenalinya.

“Mari Ibu-Ibu saya pamit duluan,” setelah beres urusan membayar sayuran, Nayla lebih memilih meninggalkan kerumunan tukang sayur. Ia belum merasa nyaman berada dalam kumpulan ibu-ibu. Pergaulannya sebelum sang ayah terciduk KPK adalah para sosialita muda yang doyan pamer harta, berfoya-foya. Butuh waktu untuk beradaptasi dengan para Mahmud yang bisa nggak nyambung kalau diajak ngobrol. 

“Kak Nayla dari mana? Nata dari tadi cariin Kakak.”

Nayla memperlihatkan kantong belanjaan pada gadis kecil itu., “Teguh belum bangun Nat?”

NOKTAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang