Aku memapah dengan hati-hati tubuh Prem yang terluka cukup parah. Rasa dahagaku saat melihat darahnya tak lagi sebanding dengan perasaan khawatir ku saat ini.
"Prem.. Prem.. Bangun.." aku menepuk pelan wajahnya. Namun Prem hanya mengerang kesakitan, tubuhnya telah basah oleh keringat, nafasnya terengah-engah, membuat ku semakin panik.
Tidak mengerti apa yang dilakukannya hingga ia bisa berada didalam hutan, padahal aku yakin jika rumahnya berada dikota. Untuk apa anak ini kesini?
Aku berusaha mengeluarkan sisa racun Vampire yang berada pada lehernya, menghisapnya, berharap racun itu belum beredar keseluruh peredaran darah Prem. Karena jika manusia tergigit oleh Vampire, pilihannya hanya dua, ia berubah menjadi Vampire atau ia akan mati.
Entah mengapa, aku tidak ingin kedua opsi itu menimpa Prem. Aku tidak mau ia menjadi Vampire seperti ku dan tidak menginginkan anak ini mati.
Setelah beberapa saat, nafas Prem mulai berangsur normal, ia tidak lagi mengerang kesakitan. Aku mendesah lega, beruntung racunnya belum menyebar.
Aku menggendong kembali tubuh Prem dan meletakannya diatas kasurku. Mau tak mau aku harus membersihkan tubuhnya dan merawat lukanya seraya berfikir apa yang harus ku jawab jika anak ini bertanya tentang kejadian yang menimpahnya.
Lagi pula apa yang anak ini lakukan disini sendirian. Ia bilang tersesat? Yang benar saja tersesat hingga masuk kedalam hutan.
"Eunghh.." Prem meringis kesakitan. Ku taruh cangkir kopiku diatas nakas dan duduk dikasur disamping Prem berbaring. Ia mulai terbangung setelah hampir lima jam ia pingsan. Prem memeganggi kepalanya.
"A..ku.. di..ma..na.."
"Kau dirumah ku.." Prem menatapku dengan terkejut. Ia memegang lehernya dan menatapku dengan raut ketakutannya.
"Tidak salah lagi!!! K-kau Vampir!!!" Suara teriakannya sukses membuat telingaku berdenging. Aku mendesah kesal.
"Ya memang benar. Lalu apa masalahmu?"
"Aku akan melaporkan hal ini pada polisi!"
"Memangnya kau pikir akan ada yang percaya?" Prem berfikir sejenak lalu menunjuk bekas luka gigitan dan kepalanya yang masih diperban.
"Tapi kan bukan aku yang melakukannya. Ya jika kau mau disangka orang gila silahkan saja, apa lagi jika bukti mengatakan aku tidak bersalah, aku yang akan balik melaporkan mu dengan tuduhan mencemarkan nama baik.." ancamku. Dalam hati aku memekik senang saat wajah Prem semakin pucat dan tak lagi membalas argumen tidak bermutu ini.
"Lebih baik kau mandi sekarang lalu kita makan. Aku sudah masak untukmu.." Tanpa menunggu jawabannya, aku keluar dan menuju dapurku untuk menghangatkan makanan yang sempat ku buat tadi. Meski aku kesal dengan apa yang dikatakannya tapi sisi lain aku merasa lega karena akhirnya anak itu sadar juga.
Pikiranku mulai berkelana tentang dua Vampir yang menyerangku semalam. Semakin bertambahnya umur bumi menyebabkan dimensi setiap alam menjadi tidak stabil. Sudah lelah rasanya jika aku harus tetap berurusan dengan kaum sebangsaku.
"Mary, seharusnya kamu tidak melimpahkan beban seberat ini padaku..." lirihku seraya memandang sendu kalung hematite peninggalan orang yang paling berharga untukku.
"Kau bisa memasak?" Aku tersadar dari lamunanku lalu menengok kearah Prem yang sudah duduk diatas kursinya dan menatap makanan yang berada diatas meja seraya meneguk liurnya.
"Bagaimanapun aku dosenmu. Perlihatkan sopan santunmu.." ucapku setelah memukul jidatnya dengan sumpit yang ku pegang.
"Maaf.." cicitnya seraya mengelus jidatnya. Prem memgambil sumpitnya lalu menusuk-nusuk daging dihadapannya seraya menghirup bau makanan yang kubuat. Sangat mirip dengan anjing liar yang tidak sengaja ku lihat saat anjing itu tengah mengorek-ngorek sampah.
KAMU SEDANG MEMBACA
LONELY VAMPIRE
VampirePrem, seorang mahasiswa kedokteran tanpa terduga harus bertemu dengan tokoh fiksi yang selalu diceritakan oleh adik perempuannya. Seorang pria dengan kedua bola mata berwarna merah darah pekat, kulit putih pucat dengan rambut berwarna keabu-abuan it...