"Oneng, masih idup ngga lu?"
"Astaghfirullah, chinta kok tega kau berkata seperti itu?" Suara mendayu-dayu terdengar di seberang telpon, "Assalamualaikum, Buk. Ngomong baek-baek ada apa?"
"Lo ingat laki nyang kemaren ngga?"
"Sapose? Ganteng ngga?"
"Kayaknya ngga, soalnya langsung lu lempar ke gue."
"Oohh yang itu, sebenarnya eike juga minat, say, cuman doi mintanya yang ory. Lu tahukan punya gue belum selesai dimodif."
"Itu laki ada di kantor gue, sekarang!"
"Posesif juga ya nek, sampai ikutin ye kerja padahal cinta ngga kasih tahu dia lho."
"Sapa yang posesif? Orang ternyata dia bos baru gue!"
"Oh Em Jiiii ... Ceriusan?!" Itu banci mendadak heboh. "Itu namanya kalian jodoh, congratulation!"
"Jodoh, batukmu! Ini alamat gue bakal jadi pengangguran, Oneng."
"It's okay, ntar gue cariin kerjaan yang enak, gampang, duitnya banyak."
"Jual diri."
"Hai, jaga ucapanmu itu. Kita tidak serendah itu."
"Bukan kita, tapi lo."
"Iya, sich."
"Trus ini gue harus gimana?"
"Show must go on, lanjut aja. Dipecatkan cuma option kedua, sapa tahu dianya pilih option ketiga."
"Apaan?"
"Uda lupa!"
"Moga aje, tapi option pertamanya apaan?"
"Masak ngga paham?"
"Iya."
"Itu-tu .."
"Apa?"
"Kalo ndak minta duwitnya balik ya minta itu."
"Kampret, duwitnya masih lu embat juga?!"
Telpon langsung mati, guenya ngedumel kesel Rebecca tak bisa diandalkan sama sekali. Mana kopi di atas nampan dah kagak panas lagi. Ngga mungkin juga jalan ndiri masuk kantor Pak Usman.
Terpaksa dengan tak rela, hamba ini berjalan tanpa daya. Menyusuri lorong demi lorong, menyapa satu demi satu orang-orang yang ngga sengaja nongol.
Demi apa?
Demi mengulur waktu dengan harapan pas nyampek kantor Pak Usman si bos dah out.
Gue kan belum bisa terima kenyataan andai diri ini jadi pengangguran. Mana duwit buat bayar kontrakan dah habis buat makan sehari-hari. Uasem!
"Wa!" Tegur seorang perempuan yang berjalan dari arah berlawanan, "itu kopi buat bos?" Tanyanya pongah seraya pasang pose nan seksi. Berkacak pinggang ala-ala model gantungan daster.
"Iya, Mbak." Jawab eike, lesuh tak berdaya.
"Ya, udah cepetan!" Janda dua anak yang baru cerai untuk ketiga kalinya itu belum selesai menginterupsi, "Ei, mau ke mana lagi?"
Pas ngga sengaja liat gue belok kanan, mencoba lari dari kenyataan.
Niatnya kan muter biar jauh, tapi gara-gara Mbak Dian terpaksa dech ikutin jalan yang semestinya. Jalan menuju masa depan gue yang suram sebagai pengangguran.
Beberapa langkah gue ambil, sebentar gue noleh ke belakang. Ngecek apa Mbak Dian dah ilang jadi masih ada harapan gue puter arah.
"Udah buruan!"
Heemmm ... Jawabannya sudah jelas saudara-saudara.
Ini lagi mewek lho, dalam hati. Pas mau masuk kantor Pak Usman, pintunya gue ketok pelan-pelan. Khawatir yang di dalam denger trus buru-buru nyuruh masuk jurang ... Ya salam.
"Langsung masuk aja!" Mbak Dian masih berdiri tak jauh dari gue ngawasin.
Uasem!
Ini orang bisa diboikot ngga?
Professional banget mandorinnya.
Mana males banget buka pintu. Atut beneran kena PHK 😭😭😭
"Wa!" Suara itu menyambut dari balik pintu yang terbuka. Wajah Berryl ada di sana, tampan rupawan, amat bersahaja.
Dialah pahlawanku, meski tanpa kekuatan super gue percaya pria itu bisa menyelamatkan masa depan gue.
"Tolong donk!" Dengan tak tahu dirinya gue sodorin nampan ke Berryl, "anu-itu ..." Sedang mencari alasannya yang tepat, "mau-itu ..." Syusah, takut si abang jijay ama ai, tapi dah kepalang tanggung keluar juga omongan, "mau pipis." Nyaris mewek beneran.
***
Ngga seru ya?
Part-nya pendek-pendek?
Syukuri saja, yang nulis dah bisa kombek setelah semedi tahunan itu dah Alhamdulillah ...
***
25.04.20
![](https://img.wattpad.com/cover/221838419-288-k626000.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Jwa
RandomGue ngga suka nonton sinetron, apalagi yang kejar tayang. Kalian tahu kenapa? Karena idup gue jauh lebih drama dan semua karena satu orang.