Kamu Lucu

730 104 5
                                    

"Kamu lucu." Ujarnya di sela tawa-tawa renyah.

Ini istilah tawa-tawa renyah gue juga kurang paham, tapi Ibroh kalau ketawa itu enak dilihat, natural banget ngga dibuat-buat bikin yang liat ketularan. Beda banget ama mode serius yang malah bikin mukanya sangar, galak gitu, tapi emesin.

"Di dunia ini mana ada OG yang bisa mecat bosnya?" Joke yang dilempar ngga lucu, secara bikin oe sakit hati.

"Kan lu yang duluan mulai."

"Karena awal mulanya memang seperti itu."

"Lu ngga minta duitnya balik'kan?"

"Kenapa?"

"Ya, kan gue ngga ikut makan itu duit, gue juga ngga mungkin balikin." Maka dimulailah curhatan tentang hidup gue yang merana, "Lu tahu ndiri gue kerja sebulan juga ngga dapet duit segitu." Berharap ia iba dan mengikhlaskan semua.

Sesekali ini abang bikin atraksi kebulan asap gede-gede. Baunya kayak melon, bukan berarti gue suka. Rasanya apek.

"Ngga masalah, kamu ngga perlu cemas. Saya sudah tidak peduli." Jawab Ibroh tanpa peduli.

Anehnya karena kata-kata yang demikian derajat kegantengan ini orang nambah berkali-kali lipat di mata gue.

"Yakin, Pak?! Itu duit lumayan lho buat beli cilok." Gue godain juga ini orang, "Bisa dapet gerobaknya juga." Gas terus.

Ehhh ... Muka abang malah bingung sambil nanya, "Cilok itu apa?"

"Bapak ngga pernah makan cilok?" Eike syok, "Yakin?!" Ibrohnya ngangguk meyakinkan.

Gue tahu orang kaya ngga mungkin makan makanan murah yang biasa dijual di pinggir jalan, tapi tetep aja. Di benak gue denger ada orang bilang belum pernah makan cilok itu wauuu... Surprise banget!

Secara lu bisa beli ngga mungkin ngga pernah makan, satu kalipun. Di sini gue keprok-keprok takzub. Beda bener dunia gue ama dia.

"Kalau klepon pernah makan?" Pertanyaan gue mulai ngawor. Segala hal mulai gue kepoin. Dari makanan, baju yang dia pakai, biasa main kemana aja, ngapain aja tiap hari, sampai pertanyaan konyol, "lu pernah pegang sapu?"

"Pernah, kenapa?"

Di sini mungkin gue salah melempar pertanyaan. Harusnya lu pernah nyapu ngga? Bukan hanya sekedar pegang, tapi bego-begonya gue lanjut nanya ini-itu.

"Emang di rumah ngga ada pembantu?"

"Ada."

"Berapa?"

"Lima mungkin, kalau di apartemen hanya sesekali datang atau pas saya butuh banget."

"Rumah lu gede donk, warisan apa rumah sendiri?"

"Rumah sendiri." Wajah si abang mulai jengah, tak suka dengan pembahasan masalah materi dunia yang dia punya.

Gue kelihatan jelas rese'nya, khas mak-mak rumpi. "Masih nyicil?"

"Saya harus jawab juga?"

"Ngga juga sich. Gue kepo aja."

"Kamu sendiri kenapa bisa kenal Becca?"

"Satu kosan, kamarnya sebelahan."

"Kosan kalian campur?"

"Khusus cewek sebenarnya, cuma ya gitu ... Chasingnya Becca khan menipu?"

"Lalu kamu percaya dia begitu saja?"

"Ehmmm ...."

"Andai malam itu bukan saya bagaimana?"

"Gue tahu beberapa teknik santet," gue ngga niat banget jawabnya, "salah satunya pakai media paku yang dikirim pakai JNE."

"Itu bukan santet, itu neror namanya!" Koreksi abang.

Obrolan kami mulai makin ngga jelas, ngalor-ngidul bahas apapun sambil sesekali menyesap kopi dan Ibroh mulai lupa dengan Pod kecil miliknya.
Waktu berlalu begitu saja, membuat ide gila muncul dalam benak gue, "jajan cilok yuk!"

***

26.04.20

JwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang