Panik, ini cerita benar-benar kacau. Saat menyadari kesalahan gue pintu tiba-tiba diketuk, suara Mbak Dian terdengar memanggil. Kenop pintu bergerak gelisah, menandakan orang yang ada di sana memaksa masuk segera.
"Aduh, gimana ini, Pak?"
"Mana saya tahu." Ibroh juga tak bisa menyembunyikan kepanikannya.
"Permisi, Pak!" Mbak Dian masih juga tereak.
Segera sebelum mengundang curiga Ibroh membenahi posisi duduknya trus gue disuruh buka pintu. Persis kayak sinetron, Mbak Dian syok liat gue ada di dalem kantor Pak Bos berduaan dalam kondisi pintu terkunci dari dalam.
Ngga ada dialog murahan, hanya diam. Perempuan itu mengabaikan gue. Lebih fokus sama Pak Bos. Ya, sebenernya biarpun khilaf suudzon kalo dipikir pakek logika orang waras juga ngga mungkin ngapa-ngapain.
Orang boro-boro mantap-mantap, orang lagi mangap-mangap kepanasan si pak bos. Lagi nahan panas perih.
***
"Ehh, Wa, lu liat ngga tadi?" Sumarni Indah Sari salah satu staf tukang ghibah negor gue pas lagi nganter barang.
Dasarnya gue juga doyan ghibah, ya gue ladeni. "Apa?"
"Lu perhatiin ngga jalannya Pak Bos?"
"Kenapa?"
"Agak ngangkang gitu, mana seharian di dalem mulu."
"Bukannya jalannya emang gitu," merasa bersalah, sumpah, makanya gue coba belain.
"Eeh beda," si Oneng bagian marketing ikut nimbrung. Dengan suara berbisik kita bertiga saling bersahutan.
"Beda gimana?"
"Kayak habis sunat."
Aaaiiihh ... Kasian, si abang pasti sangat menderita mana ngga ada yang berempati sedikit pun.
"Ngga mungkin juga disunat, dah segede itu."
"Ya sapa tahu lagi dibenerin." Sumarni mulai ngoceh dengen teori ngasal, "katanya, gue denger-denger bininya kabur ama laki laen. Kurang puas mungkin, secara kalian ngga meremlah. Pak bos itu ganteng, badannya bagus, tajir, baik banget, sopan, ngga pecicilan, cuma masalah itu yang kita ngga tahu."
"Kalau gue sich milih bertahan," tim ghibah nambah atu lagi, kali ini Maricem temen satu bangku Sumarni. "Laki-laki laen belum tentu bisa menunjang kebutuhan finansial kita perempuan."
"Mungkin emang ngga jodoh kali," pendapat gue diaminin, tapi tak jua mengakhiri sesi ghibah yang meleber kemana-mana. Dari satu orang ke orang lain, semua dibahas.
Termasuk, "lu masih naksir Berryl?"
"Buruan gercep, Beb, jangan sampai keduluan si janda."
Astaghfirullah, gue kaget kenapa mereka ngomong kayak gini.
"Janda, siapa?" Suara gue hampir ngga kedengarannya.
"Siapa lagi yang tiap hari pulang-pergi dienter gebetan lu?"
"Lu sich ngapa juga ngekost, dah bener tetanggaan ama dia. Bisa modus tiap hari."
"Ceritanya gue yang salah ni?"
"Ya, iyalah."
"Coba lu dandan dikit, pinter dikit, pasti mau dia ama lu."
"Pepet terus itu laki, jangan kasih kendor."
"Masa depan harus diperjuangkan, Wa!"
Merasa disudutkan gue memilih diam dan menjadi pendengar saat tiga perempuan itu asyik ngomongin orang, termasuk ngomongin gue.
***
Kemaren-kemaren update satu hari dua part, buat ke depannya kalau bisa saya usahakan, tapi mungkin sedikit agak lamban karena Eike harus kembali berjuang ke Medan perang
Butuh makan, cuy
Butuh duit juga yang banyak buat beli paketan
Salam rebahan
28.04.20

KAMU SEDANG MEMBACA
Jwa
RandomGue ngga suka nonton sinetron, apalagi yang kejar tayang. Kalian tahu kenapa? Karena idup gue jauh lebih drama dan semua karena satu orang.