Bau Alkohol

742 113 9
                                    

Bau alkohol kecium pas Ibroh deketin gue, ninggalin Becca yang pura-pura kelelep biar ditolongin.

"Ibroh, gue juga tolongin!" Teriaknya manja-manja bikin muntah.

Merasa iba, ada bapak-bapak ndut ikutan nyemplung nolongin Becca. Andai si bapak ganteng sesuai ekspektasi, itu banci pasti rela jatuh kepelukan si bapak.

"Tidak!!" Teriak Becca, masih di kolam renang. "Jangan tinggalin gue!" Padahal jelas lagi dikekepin si bapak.

Ibroh yang berbaik hati bantu lepasin tangki oksigen di belakang gue dan berkata, "baju kamu basah."

"Wajar, kan habis berenang." Gue senyumin si abang yang matanya mulai merah.

"Kamu kedinginan."

Tercekat, gue ngga tahu harus ngomong apa. Ini saatnya abang gandeng tangan gue di hadapan semua orang lalu kami berduaan di tempat sepi, saling berbagi kehangatan.

Uuuhjh ... Aku tak sanggup membayangkannya.

Kalo emak tahu, ntar Jwa dimarahin. Disuruh kawin, trus kita punya anak, lalu-lalu hidup bahagia selamanya.

Bangun, Wa! Bangun!

Ibroh ngga mungkin seromantis itu.

"Handuk bersihnya ada di sana." Abang nunjuk ke pojok.

Tuch kan tangan gue ngga jadi digandeng, ngga juga diangetin.

Uasem!

***

Pestanya belum kelar, orang-orang masih gila joget ame-ame, musiknya jedar-jeder makin malem makin berisik. Becca sudah entah di mana. Gue laper, sendirian di atas rooftop bersama beberapa orang yang kayaknya lagi kencan liatin kelap-kelip lampu malam dari kejauhan. Saling berpelukan, berbagi senyuman, berbicara tentang masa depan, nyang paling bikin mupeng mereka lagi suap-suapan.

Gue dah bilang, gue laper!!!

Berselimut handuk tebal, musik menghingar tanpa rasa malu gue lari turun ke bawah nyari makan. Ada nemu makanan ngga jelas semua. Porsinya kecil-kecil, jelas ngga bikin kenyang, tapi gue embat juga sekalian ama potongan buah dan beberapa kaleng minuman.

Balik menyepi, orang-orang yang tadi mojok dah ilang. Tinggal seseorang berdiri bersandar dekat pager. Makin dekat makin jelas wajah itu orang ganteng. Ibrohim Mumtaz, pak bos gue yang lagi mabok mlorot duduk selonjoran.

Kesannya lagi patah hati, pas gue deketin malah pura-pura tegar.

"Makan, Pak!" Tawar gue yang ikutan duduk ngelempoh di lantai. Piring besar berisi macaron gue taroh di sebelah dia. Minuman gue tenggak sendiri.

"Kenapa ngga pulang?"

"Baju ganti saya masih sama Becca."

"Beccanya mana?"

"Ngga tahu."

"Kamu bisa maafin dia begitu saja?"

"Dia siapa?"

Gue kan agak lemot.

"Becca."

"Emang dia salah apa?"

Beneran lemot, otak masih pentiun satu apalagi saat perut kosong.

"Dia ngga sepenuhnya baik, dia pernah nyaris ngejual kamu sama saya."

"Itu kan dah lewat."

"Belum ada seminggu."

"Ooohh ..." Kesannya gue lewat baik gitu ya padahal asli ogeb.

"Kenapa?" Ibroh masih menagih jawaban.

"Semua orang pernah salah, saya juga pernah salah." Macaron warna ijo gue telan, laper ngga bisa bohong.

"Kamu maafin gitu aja?"

"Ngga punya temen itu ngga enak." Sedich gue cerita tentang teman masa kecil gue-Titin. Dari orok kita sama-sama sampai SMA. "Bokap ngga ada biaya buat kuliahin saya. Kita jadi jarang ketemu, pernah saya marah cuma karena dia bahas hidup dia yang baru, di sekolahan baru, temen-temennya yang baru, pacarnya, semua hal yang saya lewatkan. Jarak kami makin jauh lalu dia nikah saya kerja. Ngga ada kesempatan komunikasi sama sekali, tapi jujur saya sering kangen waktu kami main, belajar bareng, makan bareng, ngobrol berdua ini-itu. Sayangnya dah ... Ngga ada kesempatan."

"Dia mati?"

"Ngga."

"Lalu?"

"Sayanya terlalu gengsi buat ngajak baikan." Ngga tahu kenapa gue malah tersenyum, menutupi kebodohan diri sendiri.

"Kamu bisa temenan sama saya."

"Ngga mau."

"Kenapa?"

"Saya maunya pacaran aja sama bapak."

Ini dia yang mabok, tapi guenya yang nge-fly.

***

29.04.20

JwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang