Pacaran

797 107 18
                                    

Pacaran, Ibroh tak yakin hal itu benar-benar yang dikatakan Jwa. Sesuatu yang seharusnya tak ia gubris. Di saat hatinya masih dipenuhi kekecewaan. Percayalah, hati ini masih menanggung rasa sakit. Wajah dari masa lalu mengusiknya. Mengingatkannya untuk tidak lagi percaya. Entah, pada siapapun itu, tapi gadis dengan mata berbinar serupa matahari itu menariknya terlalu dalam. Menuntunnya pada hasrat sebagai seorang lelaki dimana sebuah ciuman membuat keduanya larut.

Bibir perempuan itu terasa manis, membuatnya candu. Membuai malam menjadi kian syahdu.

Kampret, ini gue nulis ginian pas lagi puasa.

Haduch, mana abang mainnya benar-benar mendominasi. Membuat Jwa kuwalahan, napasnya hampir habis karena si abang terlalu semangat menginvasi dirinya. Ini kalo seumpama doi pakek baju kurang bahan kayak Becca pasti dah habis ditelanjangi dia. Tangan Ibroh nakal banget, megang-megang akhhh... kuuu tak sanggup mendeskripsikannya.

Masih belum buka😭

Bibir itu masih saling bersentuhan, masih merasai rasa satu sama lain. Saat napas keduanya sudah menuntut dicukupi dan kesadaran keduanya kembali menyeruak ke permukaan.
Ini Ibrohnya lagi mabok, Wa. Kalo sadar mana mau sama lu, bisik logika dalam pikirannya.

Memerahlah itu pipi, malu bukan tersipu. Sama merahnya dengan mata Ibroh yang masih dikendalikan nafsu.
Jantung Jwa makin berdebar mana kala wajah si abang kembali mendekat. Wajahnya makin terasa panas. Dilema, mau lanjut kecap-kecup apa selamatin harga diri biar ngga dikata jual murah. Membiarkan kedua matanya terpejam,  Jwa pasrah pada takdir yang pada akhir mempermainkannya.

Bugh!!

Bukan Jwa yang nabok.

Sumpah!

Beneran!

Dengan mata membeliak sosok Berry ada di antara mereka.

Lha kok yang ganggu Berryl?

Jwa tersudut, dia kan masih ada hati sama si onoh. Malah ketahuan ahem-ahem sama abang. Kan ngga enak jadinya. Mau klarifikasi kita ngga ngapa-ngapain ini lagi cipokan ceritanya pas kepergok. Mana si cewek menikmati banget. Ngga mungkin juga bilang, aku dipaksa.
Meweklah Jwa, bingung menempatkan diri.

"Ayo, pulang!"

Ngga mau, mau pacaran aja di sini sama abang huaaaaa ....

"Ini ngga seperti yang kamu bayangkan."

Dialog macam apa ini? Nyang nulis keracunan sinetron-parah.

"Wa, aku bilang pulang!"

Berryl beneran marah, ngga main-main. Ibroh yang kena tabok biar ngga sampai bonyok aja sadar dia salah. Berryl berhak marah, meski ia belum tahu ada hubungan apa antara dua pegawainya itu. Seharusnya ia bisa mengendalikan diri, tidak membiarkan kesadarannya hancur karena minuman setan.

***

Pada akhirnya Berryl tetap memaksa Jwa pulang bersamanya, di depan semua orang Jwa di permalukan. Digiring pulang seperti anak kecil yang ketahuan menyelinap keluar rumah tanpa ijin.

"Mas, kenapa kamu kayak gitu tadi? Kalo pak bos pecat kamu gimana?" Protes Jwa saat begitu sampai di area parkir dan Berryl sibuk mencari di mana ia memarkir mobilnya.

Ia terlalu panik saat menemukan Jwa tak ada di kosan dan juga tahu dengan siapa gadis itu pergi. Dari induk semang Jwa'lah ia tahu harus kemana, tempat dia mendapati Jwa bersama sang bos dan ... Berryl sudah nganggep Jwa kayak adek. Dia pastinya ngga terima liat adeknya manfaatkan. Di mata dia Jwa itu polos, mudah percaya orang dan terlalu mengikuti apa kata hatinya. Entah itu benar atau semuanya.

"Lalu aku harus apa, Wa? Biarin aja kamu dilecehkan?!"

Sebenarnya, itu opsi yang sangat diharap Jwa. Hanya tak mungkin ia akui. Berryl ngga tahu ya, jangan sampai tahu!

"Itu ngga sepenuhnya salah Ibroh." Jwa mengaku salah, harusnya tak memancing masalah dengan menggoda pria yang sedang dalam pengaruh alkohol.

Masih berusaha mengontrol emosinya Berryl berbalik menatap tajam pada Jwa yang menundukkan kepala, merasa bersalah. "Ini artinya kamu mengakui kamu salah." Jwa masih diam. Sekali ia buka suara pria itu akan terus menamparnya dengan konsekuensi dari kesalahan yang telah ia lakukan. "Pilih satu, aku yang keluar dari perusahaan atau kamu."

"Lho ngga bisa gitu!"

***

Kalo saya sudah balik kerja, nulisnya jadi sangat lama termasuk update.

So maafken 🙏

Satu Mei Dua Puluh Dua Puluh

JwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang