Lari

810 106 8
                                    

Lari, opsi yang paling banyak dipilih orang untuk menyelesaikan masalah. Sayangnya, opsi ini tidak selalu bisa dilakukan dengan baik. Terlebih saat masalah itu adalah bos kita sendiri.
Gue baru keluar kantor saat alarm tanda bahaya berbunyi. Ibroh ada di depan gue, lagi mainin hanpon. Mana balik arah masuk dalam kantor lagi juga ngga mungkin. Pasalnya, itu laki langsung manggil-manggil, "Jwariyah!"

Hakcuwih!!!!

Harus ya nyebutnya lengkap?

Ngga sekalian bapak gue disebut?

Gue pengennya pura-pura budeg, tapi ngga bisa. Pas gue balik badan, Pak Usman-petinggi kantor tempat gue kerja lagi ngobrol ama Pak Roy depan pintu masuk. Kayaknya sengaja bikin gue mati kutu ini orang berdua. Mana itu laki masih terus teriak, "Jwa, kamu dengar saya?!"

Ngga! Ngga yakin juga bisa jawab begono.

"Kenapa kamu menghindari saya?" Tanya Ibroh begitu gue mendekat.

Gue males jawabnya, pertanyaannya terlalu to the point.

"Jwa, itu nama kamu bukan?"

"Saya ngga tahu apa kita ada di tempat yang tepat untuk membahas apa yang bapak inginkan."

"Benar juga, kamu tidak harus langsung pulang kan?"

"Sayangnya, harus, Pak! Ini di rumah lagi ditungguin."

"Bukannya kamu ngekos?"

"Dari mana bapak tahu? Saya kan malu ketahuan bohong."

Ibroh tersenyum.

Anjrit, mana senyumnya manis banget. Ntar kalo sampai gue diabetes ngga lucu juga.

Sedang orang-orang di sekeliling kami mulai memperhatikan interaksi antar bos ama kacung yang seolah tidak semestinya terjadi.

Memang harusnya tidak terjadi!

Gue ngga ngarep!

"Sekalian saya antar," ujar pria itu bersamaan saat sebuah Range Rover berhenti di depan mereka.

"Naik mobil yang ini, Pak?"

Entah kenapa gue tuch bahagia banget. Kayak korea-korea gitu, ceweknya naik mobil bagus bareng cowok ganteng ninggalin gebetan yang ngga peka lagi modusin janda beranak dua.

"Saya tadi ngga bawa mobil."

"Trus?"

"Naik motor." Jawab Ibroh dengan tanpa hati melempar kontak motor ke gue. "Tadi saya tinggal di parkiran paling pojok."

Cok!

Sebagai manusia beriman hari ini gue dah misuh berkali-kali.

Entah dapat keberanian dari mana, ini kunci gue lempar balik seraya berkata, "saya biasanya naik mobil." Sambil sombong nunjuk angkot yang lagi ngetem di sebrang jalan.

Si abang malah ketawa, menarik perhatian semua orang.

"Bapak ngga apa?" Sela Pak Usman yang telah berada di antara kami. Kayaknya ini orang tua khawatir majikannya ayan gara-gara deket gue. "Apa semua baik-baik saja?" Ujarnya sekali lagi, memastikan.

"It's okay, tidak apa?" Ibroh coba menenangkan dirinya.
Dengan amat jelas Pak Usman mlototin gue, memperingatkan untuk tidak membuat masalah. Masalahnya juga sebenarnya udah terjadi, cuma belum mencuat ke publik aja. Andai ini bapak-bapak perut buncit tahu gue pasti kena omel.

***

Pada akhirnya gue pulang dibonceng Ibroh pakai moge. Biarpun ini motor lebih mehong dari angkot tetep aja panas. Panas luar dalam, coba kalau saja Pak Usman ngga ikut campur gue pasti dah sukses kabur dari jerat tipu daya si Abang.

Masak ya Ibroh bilang sama Pak Usman kalau gue ini perlu belajar bikin kopi. Ya elah cuman kopi tinggal campur seduh aja ribet. Dengan dalih seperti itu juga daku diseret main ke salah satu cafe mentereng di pusat kota.

Memilih area bebas merokok Ibroh tak perlu permisi depan gue nyedotin vape. Sesekali ngelamun, kayak lagi banyak beban. Makanan sama minuman cuma pajangan, ngga disentuh ... Termasuk gue!

Tega kau, Mas.

"Tahu ngga?"

"Ya."

"Baterei gue habis, harusnya kita ambil tempat di pojok biar gampang cari colokan."

"Colokan?"

"Charge hape."

"Sorry," wajah Ibroh menganggap serius masalah ini, "mau tukar tempat?"

"Ngga usah, to the point aja kita di sini mau ngapain?"

"Ngopi."

"Ok, paham." Cangkir depan gue hampir saja amblas sebelum akhirnya gue harus memastikan satu hal, "ini lu-maksud saya kamu eh ... Bapak yang bayar kan?"

Mau gimana lagi? Jiwa miskin gue bergetar kalo nongkrong di tempat mahal. Khawatir besoknya ngga bisa makan.

Dan lagi-lagi Ibroh tertawa, lebih tepatnya menertawakan kejujuran gue.

Uasem!

"Tidak perlu kaku, kita tidak sedang berada di kantor. Kamu boleh memanggil saya-apapun yang membuat kamu lebih baik." Kemudian pernyataan yang gue tunggu keluar juga, "Dan, tidak perlu khawatir semua saya yang  ba-yar!"

Huraaayyy ... Gue hampir teriak kegirangan kayak bocah dikasih tahu besok libur ngga harus ikut kerja bakti di sekolah ataupun ada tambahan kelas.

"Ini juga berlaku buat-lu ..." Masih ragu, masih ngga siap kena SP.

"Ok."

"Cuma saya ngga terbiasa lo-gue."

"Sama aja, donk."

"Saya hanya ingin memastikan bahwa kamu orang yang sama yang saya temui tempo hari."

"Kalau memang itu saya," sebisa mungkin ini gue lagi menyesuaikan gaya bahasa beliau yang ... Yo ngunu iku-kaku, pakai eyd and bla-bla. "Gimana?"

"Kalau iya, kenapa kamu pergi begitu saja?"

"Kenapa juga saya harus tetap di situ?"

"Saya sudah bayar, cash."

"Duitnya gue ngga pegang," pertahanan gue runtuh ngga bisa ngomong baku. "Lagian lu sama Becca yang transaksi bukan gue."

"Syukurlah demikian, saya tidak perlu memecat kamu."

"Atas dasar apa memang saya dipecat?!"

"Prostitusi," mata gue langsung mendelik. Pilihan katanya itu lho, makjleb! "Kerja sambilan kamu bisa mencoreng nama baik perusahaan kita."

"Harusnya bapak yang mengundurkan diri bukan saya!" Gue sudah tidak bisa menahan diri, "Saya pergi karena saya bukan bagian dari bisnis haram yang anda sebutkan. Sedangkan anda jelas-jelas iya."

Langsung guenya menyesal, resikonya dah jelas gue yang bakal syusah.

***

25.04.20

JwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang