B-2

246 44 7
                                    

"Ayok, Cha. Kita pulang!" Acha mengangguk, mereka berjalan menuju parkiran sambil berbincang hal-hal kecil namun dapat membuat mereka tertawa, sesederhana itu, dengan sahabat tidak akan pernah kehilangan topik pembicaraan.

"Dhafa!" teriak Acha saat Dhafa dan kedua sahabatnya berdiri di dekat motor mereka masing-masing.

"Dhafa, Acha nebeng ya?" tanya Acha dengan wajah imut memelasnya.

"Ayok!" Acha mengangguk, ia tersenyum senang.

"Bucin! udah dah!" ucap Rey sambil mendengus.

"Lah! katanya tadi mau bareng gue," ucap Fira saat Acha sudah naik ke atas motor Dhafa.

"Aduh, Fira sayang, Acha pulangnya bareng Dhafa aja yah, Fira pulangnya hati-hati, dadah!" Acha melambaikan tangan nya, sambil memamerkan gigi putihnya itu, membuat Fira menatap sebal.

"Gue duluan," pamit Dhafa pada mereka.

"Yoi, hati-hati!" teriak Rey, namun Sam masih diam, seperti biasa.

"Eh ... neng Fira, mau abang anter?" Tanya Rey yang menggoda Fira.

"Gak!" setelah mengucap itu Fira berjalan ke arah mobil jemputannya.

Sam menepuk pundak Rey seperti berkata 'sabar'

"Gini amat ya nasib orang ganteng," lirih Rey.

***

"Dhafa, masa tadi Dinda jambak rambut Acha," ucap Acha setengah teriak.

"Rambut Acha 'kan, jadi berantakan. Mana lengket lagi, disiram jus nyebelin banget, kan!" Acha masih mendumel kesal.

"Dhafa! ini 'kan bukan rumah Acha," teriak Acha saat melihat Dhafa mengemudikan motornya bukan arah ke rumah Acha.

"Gak papa, kita main dulu." Acha mengangguk senang, Dhafa selalu seperti ini, mengejutkan.

Mereka berhenti di taman, jika sore hari taman akan penuh dan juga ramai, Acha begitu senang sekali.

"Mau es krim?" tanya Dhafa, membuat Acha mengangguk.

"Boleh, seperti biasa." ya Dhafa sudah paham betul kesukaan Acha.

"Nih!" Dhafa memberikan 1 es krim pada Acha, dengan senang Acha menerimanya.

"Makasih, Dhafa." Acha tersenyum tulus, betapa nikmat ciptaan Tuhan di depannya ini.

Keheningan menyelimuti mereka berdua, sama sama terdiam dalam pikiran masing-masing, Acha yang nampak senang karena bisa bersama Dhafa, namun Dhafa hanya biasa saja.

"Mana yang sakit, tadi katanya rambut dijambak dinda?" tanya Dhafa saat es krimnya sudah habis.

"Ini, rambut Acha." Dhafa mengelus pelan rambut Acha, membuata desiran hangat menjalar di seluruh tubuh gadis itu.

"Ih lengket, bau lagi!" Dhafa tertawa terbahak-bahak, sedangkan Acha, ia cemberut karena Dhafa menertawakannya, cowok itu merusak suasana, bau saja ia bersikap romantis, sekarang sudah seperti ini.

"Dhafa!" Acha mendongak menatap wajah Dhafa.

Ya Allah, mengapa Dhafa seganteng ini, kalo Acha nikah terus punya anak cowok, pasti gantengnya persis kaya Dhafa, semoga Dhafa jodoh Acha ucap Acha dalam hatinya.

"Apa Acha, hm?"

"Dhafa gak ada niat buat nembak Acha gitu? Acha udah siap, loh, Dhafa." Dhafa terdiam menatap terkejut ke arah Acha, sedetik kemudian, Dhafa tertawa lagi gadis ini memang polos sekali, mengapa Acha tidak memberinya kode, malah langsung berbicara.

Detik [ REVISI ] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang