Biasanya ada dua jenis pandangan tentang pindah divisi:
Pertama, kalau pindah ke divisi impian yang "mendingan" dari divisi sebelumnya, itu rasanya seperti sukses keluar dari gerbong KRL Bogor-Kota pas hectic hour, alias leganya luar biasa.
Kedua, kalau pindah ke divisi yang sama sekali bukan impian, itu rasanya seperti melenggang ikhlas keluar dari kolam buaya dan masuk kandang macan.
Nah, Luna sudah pasti masuk ke jenis kedua.
Katanya, divisi operasional di Nusa paling jarang punya banyak staf. Alhasil, tidak ada meja kosong yang bisa Luna pakai. Dia mesti seruangan dengan manusia gunung es selagi menunggu pengadaan barang oleh staf General Affair. Aish, baru hari pertama pindah, kepala Luna sudah puyeng.
Sejurus kemudian, reminder meeting dari Microsoft Outlook muncul di layar laptop saat Luna sedang menguap lebar.
Meeting paling malesin itu memang sehabis jam makan siang. Selain kadang perut masih begah, bawaannya kalau bukan mendadak bego, ya ngantuk.
Luna meraih iPad yang ditinggalkan Liam di atas meja, lalu keluar dari ruangan. Atasan barunya itu menyuruh Luna bawa iPad setiap ada rapat. Katanya, sih, sebagai pengganti catatan yang ditulis tangan. Padahal, Luna yakin laki-laki itu cuma mau pamer barang mewah saja.
Hhh, merepotkan!
Gara-gara urusan sama manufaktur, Liam hobi gentayangan di luar kantor. Pantas saja jarang-jarang ada melihat wujudnya di kantor. Jadinya Luna mesti menggantikan atasan barunya itu menghadiri rapat dengan para manajemen tengah.
Tubuh Luna mendadak merinding. Dia pernah membayangkan ada di antara manajemen tengah saat kariernya menanjak atau minimal sudah selevel dengan para asmen dan manajer itu. Bukannya saat masih jadi staf begini.
Kalau masih kentang begini, sih, Luna membayangkan para manajer dan asmen itu memandangnya dengan mata Cyclops! Salah gerak sedikit, siap-siap kena laser.
Begitu memasuki ruang meeting, Luna spontan terkesiap. Matanya terbelalak ke satu-satunya orang yang sudah menghuni ruangan itu.
"Bapak ngapain di sini?!"
Demi Tuhan, jantung Luna rasanya baru saja copot! Dia sampai mengelus dada beberapa kali.
Seingatnya, Liam bilang tidak bisa datang meeting hari ini karena sibuk di luar. Tapi kenapa wujudnya malah nongol dengan santai seperti dedemit yang datang tak dijemput dan pulang tak diantar begini?
Alis Luna berkerut heran melihat ada iPad lain di tangan Liam. Berapa banyak iPad yang mau dipamerin, sih?
"Menurut kamu ngapain, Rahajeng?" balas Liam tanpa menatap Luna.
Hidung Luna mengerut.
Sejak tadi pagi, Liam seenaknya memanggil dengan nama belakang gadis itu. Padahal Luna sudah berkali-kali merevisi, karena tak terbiasa dipanggil dengan nama belakangnya. Tapi, gunung es itu bersikukuh dan terus memanggil "Rahajeng".
Dasar gunung es sok anti-mainstream!
"Oh, ya udah. Kalau udah ada Bapak, saya nggak perlu ikutan. Saya balik—"
"Siapa bilang? Kamu perlu nyampein laporan yang udah saya briefing ...."
"Kan itu kalau Bapak nggak ada di tempat. Bapak udah di sini, kenapa bukan Bapak aja yang langsung sampaikan?" potong Luna terheran-heran.
Bukan bermaksud tidak sopan, tapi kalau sudah ada Liam di situ, mendingan laki-laki itu saja yang menghadapi para manajemen bermata Cyclops. Lagi pula, melaporkan progres kepada jajaran manajemen tengah bukan job desc Luna.
KAMU SEDANG MEMBACA
Postscript
RomanceKarena ketiduran saat rapat, Luna mendapat memo teguran dari Liam, si asisten manajer kaku dan irit senyum. Sejak itu, Luna berusaha bersikap lebih profesional. Tapi, kenapa dia tetap menerima memo lainnya?! *** Berawal dari "pengantar berkas", Luna...
Wattpad Original
Ada 4 bab gratis lagi