Wattpad Original
Ada 2 bab gratis lagi

Bab 4 - Tumbal

51.6K 7.3K 118
                                    

Bukan hanya gara-gara wangi obat, ternyata ada masalah lain yang bikin kepala Luna masih pusing ketika keluar dari area pabrik.

Mesin produksi utama pabrik rupanya bermasalah. Sedangkan mesin substitusinya juga tidak mungkin mengejar target produksi. Luna sudah mencoba menghubungi PIC perbaikan mesin sesuai permintaan Liam. Namun, usahanya sia-sia. Sepertinya PIC perbaikan mesin seorang misoginis, hingga menganggap remeh ucapan Luna. Alhasil, gadis itu terpaksa menyerahkan masalah itu kepada Liam.

Walau Liam mempertahankan tampang lempeng-lempeng saja seperti talenan baru di-unboxing, tapi Luna yakin atasannya itu sudah emosi. Gadis itu juga sempat mendengar Liam mencecar habis PIC perbaikan mesin di telepon.

"Kalau saya jadi PIC perbaikan mesin, saya bisa langsung budek sehabis Bapak omelin," komentar Luna begitu memasuki mobil kantor yang disetir Liam. Sepertinya laki-laki itu terlalu menyayangi mobil Civic-nya untuk dibawa ke kawasan industrial.

"Asal commit bisa benerin mesin, nggak masalah." Liam mulai melajukan mobil keluar dari area parkir. "Siap-siap revisi timeline," cetusnya kemudian.

Luna bergumam setuju. Kalau ada masalah sama mesin utama, kemungkinan ada perubahan timeline. Bukan cuma itu, mereka juga harus memastikan alur proses produksi tetap berjalan.

"Jadi, sekarang kita balik ke kantor, Pak? Atau Bapak masih mau ke pabrik lain?" tanya Luna.

"Makan siang," jawab Liam sekenanya.

Otomatis Luna melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul 12 siang. "Jam segini pasti masih ramai-ramainya, Pak. Kenapa nggak di kantor aja? Bisa delivery juga."

"Tabungan kamu nggak jebol makan siang pakai delivery melulu?"

"Emang Bapak punya rekomendasi restoran yang nggak penuh pas jam makan siang gini? Ujung-ujungnya restoran yang harganya selangit juga. Apa bedanya Bapak sama saya?"

Liam melirik Luna sesaat. Alisnya menyatu heran. "Kamu selalu mesti bales ucapan orang?"

"Saya cuma bales yang kurang realistis aja," sahut Luna seraya mengedikkan bahu. Lalu kepalanya dimiringkan sedikit. "Kecuali omongan Tante Erni."

"Bukan artinya kamu setuju sama yang Tante Erni bilang, kan?"

"Agak kurang setuju. Tapi dia ...."

"Merepet?" tebak Liam serta-merta. Kemudian laki-laki itu mendengus. "Dia diam aja kesannya udah berisik."

Tak lama kemudian, Liam memarkirkan mobil di pinggir jalan. Tak jauh dari situ ada sebuah warung kopi sederhana. Pada bagian depannya ada sebuah partisi kayu warna hijau yang sudah memudar untuk menghalau debu. Laki-laki itu mematikan mesin dan melepas seatbelt.

"Lho, lho? Kenapa kita berhenti di sini?" Kepala Luna celingukan. Dia makin bingung saat Liam sudah keluar dari mobil. Dengan segera, gadis itu melepas seatbelt dan berlari mengejar Liam yang sudah masuk ke warung kopi. "Pak!" omelnya kesal.

Liam yang semula memandang pajangan mi instan di etalase kaca, lantas menengok. Alisnya terangkat sebelah, lalu tangannya yang lain mengaktifkan alarm mobil.

"Please, jangan bilang kita beneran mau makan siang," ucap Luna memandang laki-laki itu.

"Kalau kamu masih kenyang, tunggu di situ aja," ujar Liam menunjuk sebuah kursi plastik tak jauh dari etalase. Namun, posisi kursi plastik itu jelas-jelas sudah seperti "beda dunia". Sinar matahari siang bolong langsung menyinari siapa pun yang duduk di kursi plastik itu.

Tanpa menunggu respons Luna, laki-laki itu mulai memesan makanannya. Melihat itu, mulut Luna ternganga tak percaya.

Sepertinya Liam defisit kepekaan dan menyuruh Luna menunggu di bawah terik matahari begitu saja. Belum lagi kawasan industrial entah kenapa berasa lebih gersang daripada tempat lain. Belum sampai sepuluh menit di situ saja, Luna sudah mulai berkeringat.

PostscriptTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang