"Tante seneng, sih, kamu masih mau terima pesenan dari Tante." Tante Erni meletakkan nampan berisi dua gelas es jeruk di atas meja, lalu duduk di samping Luna. "Kamu tuh perempuan, lho. Emang gaji di kantor kamu masih kurang?"
Luna bergumam terima kasih sambil tertawa pelan. "Biar bisa nabung, Tan. Investasi ...."
"Ya, tapi masa kerja hari biasa aja nggak cukup sampai-sampai mesti sampingan kayak gini segala?" potong Tante Erni tak sabaran. "Emangnya nggak capek?"
Kalau mau dibilang capek, tentu saja Luna capek.
Pekerjaan di kantornya, ditambah mesti mengarungi kemacetan ibu kota saja sudah menguras tenaga. Belum lagi mesti menghadapi orang-orang di lingkungan kerja plus tingkah si asmen gunung es yang bikin sakit kepala dan sport jantung.
"Kamu tuh, jangan terlalu gila kerja, ah! Omongan kamu udah kayak bapak-bapak. Dikit-dikit ya investasi, ya nabung lah. Ck, kayak nggak punya topik lain aja!" decak Tante Erni sambil mengibaskan tangan. Kemudian, "Ngomong-ngomong, kamu udah coba kirim lamaran ke kantornya Liam?"
Es sirop rasa jeruk yang semula ada di mulut Luna otomatis tersembur. Gadis itu terbatuk-batuk sementara tangannya terulur mengambil tisu dari meja pendek. Dengan mata terbelalak dia memandang Tante Erni yang kebingungan.
"M-maaf, Tante ...." Luna buru-buru mengambil beberapa helai tisu lain dan menyeka permukaan meja kaca yang basah.
"Kamu kenapa?" Tante Erni terheran-heran saat Luna sudah mengeringkan permukaan meja. Alisnya menyatu bingung. "Bengong?" todong wanita itu lagi-lagi.
Luna berdeham, lalu menggeleng.
"Kapan hari Tante, kan, udah rekomendasiin kamu ke Liam. Itu, lho, laki-laki ganteng yang ketemu sama kamu minggu lalu. Inget, nggak?" cerocos Tante Erni.
Ganteng-ganteng serigala! batin Luna menjerit frustrasi.
Kalau saja bibir laki-laki itu tidak setajam presenter gosip selebriti dan bukan gara-gara dijadikan ban serep di kantor, mungkin Luna mau saja mengakui kegantengan Liam.
Dengan jawline tegas, hidung mancung, serta sepasang mata cokelat terangnya yang bersinar tajam, Liam memang tergolong ganteng. Orang-orang kantor juga sebenarnya mengakui asmen gunung es itu halu-able. Apalagi Liam seperti patung-patung di department store, alias cocok pakai setelan apa saja.
"Eh, ada yang mau Luna tanyain sama Tante Erni," ucap Luna agak hati-hati. Dia menelan ludahnya susah payah. Kemudian, "Pak Liam yang lagi Tante omongin itu keponakan Tante?"
Tawa Tante Erni menggema. Dia menatap Luna sambil geleng-geleng kepala. "Ya ampun, Tante kirain kamu mau tanya apa," kekehnya di sela-sela tawa. Mata Tante Erni mengerling jail. "Liam udah bikin kamu jatuh hati, ya?"
Otomatis mata Luna membeliak. "B-bukan gitu!" bantahnya cepat sekaligus panik. Kenapa Tante Erni malah menarik kesimpulan itu? Laki-laki itu, kan, bosnya sendiri!
"Tapi kenapa kamu sebutnya pakai embel-embel 'Bapak' segala, sih? Emangnya dia udah setua itu?"
"Kelihatannya kayak bapak-bapak," sahut Luna sekenanya.
Tante Erni mengekeh. "Yah, umurnya emang udah mau 30, sih, tapi dia nggak setua itu," akunya pelan. Kemudian dia kembali memandang Luna dengan tatapan lembut. "Liam anak Tante."
"Anak Tante?" Luna mengerjap-ngerjap tak percaya. Dia mengamati sosok wanita di hadapannya dengan bingung sekaligus tak mengerti.
"Tante menikah sama ayahnya Liam ...."
"Bukannya Tante baru menikah setahun atau dua tahun lalu?" sela Luna masih belum paham. Keningnya berkerut dalam. Bagaimana bujang umur tiga puluhan itu dianggap ...? Mulut Luna kemudian membulat. "Oh, anak tiri Tante, ya, maksudnya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Postscript
RomanceKarena ketiduran saat rapat, Luna mendapat memo teguran dari Liam, si asisten manajer kaku dan irit senyum. Sejak itu, Luna berusaha bersikap lebih profesional. Tapi, kenapa dia tetap menerima memo lainnya?! *** Berawal dari "pengantar berkas", Luna...
Wattpad Original
Ada 3 bab gratis lagi