"Aduh, Luna! Sori, ya, kamu jadi direpotin hari Sabtu gini!" Suara Tante Erni melengking nyaring saat Luna baru saja meletakkan sekardus panada di atas meja.
Meski agak terkaget-kaget, Luna tetap melempar senyum. "Nggak pa-pa, Tan. Lagian Luna juga yang nawarin ke Tante. Hehehe," ucapnya menenangkan.
Raut tak enak hati masih tampak jelas di wajah Tante Erni yang paripurna di usia akhir lima puluhnya. Lalu, wanita berbibir tebal dengan polesan gincu merah ngejreng itu akhirnya melebarkan senyum. Tangan wanita itu tiba-tiba mengamit lengan Luna.
"Kamu itu cewek, Lun. Mestinya jangan kerja terlalu keras. Nanti susah jodoh, lho!" bisik Tante Erni.
Luna meringis.
Tante Erni memang lumayan beken di RT kompleks. Konon, wanita itu sering menasihati banyak orang. Mulai dari tukang sayur, satpam kompleks, bahkan ibu-ibu penjual Yakult yang kebetulan lewat juga pernah dinasihatinya. Paguyuban ibu-ibu RT-nya saja sampai bilang, Tante Erni cocok bikin acara The Golden Ways versi ibu-ibu kompleks.
"Tetangga teman Tante di Medan sampai sekarang ada yang belum nikah, lho. Padahal umurnya udah mau kepala empat. Cewek juga, lho!" curcol Tante Erni heboh. Matanya membulat saking hebohnya. "Wanita karier banget dia. Udah punya rumah, mobil mewah, jalan-jalan ke luar negeri, sampai umrah segala. Tapi, ya gitu. Kerja terus, kesempatan nyari jodoh jadi ikutan pupus!"
"Eh ...."
"Secara kodrat, laki-laki yang mestinya bertanggung jawab sekaligus menafkahi keluarga. Mereka yang mestinya bekerja lebih keras. Bukan kita, kaum perempuan," imbuh Tante Erni.
Luna memilih tidak berkomentar.
Ucapan Tante Erni memang sering dikoar-koarkan banyak perempuan. Sayangnya, Luna malah tidak mendapat privilege itu. Dia tidak bisa menggantungkan harapan sekaligus kehidupan kepada laki-laki.
Dan perkara jodoh, jujur saja Luna juga belum punya kesempatan mikirin. Namun, bukan berarti kemungkinan dia susah jodoh cuma gara-gara kerja keras bagai kuda. Toh, setiap orang bebas untuk memilih prioritas masing-masing.
Triiiinggg!!!
Luna terkesiap saat ponsel di celana jinsnya berdering kencang. Dia memang biasa menyetel volume paling kencang gara-gara tidurnya kebo banget, tapi tidak berharap deringnya sampai menggema heboh di dapur mewah rumah Tante Erni begini.
Sambil tersenyum malu-malu, Luna pamit untuk angkat telepon. Gadis itu menuju sudut dapur yang menurutnya cukup memberi sedikit privasi. Napasnya terembus kasar.
Muncul perasaan tidak enak saat melihat nama Vivian muncul di layar ponsel. Apalagi weekend seperti ini. Entah kenapa, kalau melihat notifikasi dari nomor atau teman kantor muncul di ponsel hari Sabtu begini, bawaannya sudah tidak enak saja. Setelah beberapa tarikan napas, akhirnya Luna mengangkat telepon tersebut.
"Vi, gue kan—"
"Gue tahu, Lun! Sori banget, tapi ini beneran emergency. Nggak bisa ditunda lagi. Gue bener-bener perlu bantuan lo Senin besok!" Vivian menjerit panik di ujung sana.
Kening Luna berkerut skeptis. Dia tidak yakin definisi emergency yang dimaksud Vivian, sama dengan definisinya.
Vivian terkenal sebagai ratu drama kalau di kantor. Baru disuruh gini-gitu sedikit saja protesnya bisa sampai tujuh hari tujuh malam.
"Kenapa?" tanya Luna akhirnya. Mata kenarinya memandangi dapur rumah Tante Erni. Pemilik rumahnya sudah tidak ada di sana. Samar-samar Luna bisa mendengar suara tamu Tante Erni yang mulai berdatangan.
"Laporan gue mesti dikasih ke Pak Liam."
Luna otomatis memejamkan mata. Bibirnya mengatup, menahan macam-macam umpatan yang gereget pengin dikeluarkan dari tenggorokan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Postscript
RomanceKarena ketiduran saat rapat, Luna mendapat memo teguran dari Liam, si asisten manajer kaku dan irit senyum. Sejak itu, Luna berusaha bersikap lebih profesional. Tapi, kenapa dia tetap menerima memo lainnya?! *** Berawal dari "pengantar berkas", Luna...
Wattpad Original
Ada 6 bab gratis lagi