Part 23

6.9K 468 9
                                    

Hari demi hari terlalui dengan harapan untuk kesembuhan Gus Muntaz. Tak lupa Ning Iyyah selalu menebalkan ikhlasnya. Ini sudah menjadi takdir. Ning Iyyah memilih menemui Gus Muntaz setiap minggunya. Meski keadaan Gus Muntaz kini semakin membaik, tapi kecelakaan tempo hari membuat kedua tulang kakinya mengalami retak sehingga ia masih menggunakan kursi roda.

Sore ini Ning Iyyah sedang menghabiskan waktu bersama Gus Muntaz berkeliling di pondoknya. Sudah sebulanan ini Gus Muntaz hanya berdiam diri di rumah sehingga ia bosan.

"Ning, bisakah kamu ceritakan tentang hubungan kita sebelum kecelakaan itu terjadi?" Gus Muntaz mendongak berbicara dengan wanita yang hanya ia kenali namanya saja.

Ia benar-benar tidak yakin bahwa wanita itu hanya seorang teman biasa. Logikanya saja jika mereka hanya berteman biasa, mengapa Ning Iyyah selalu menyempatkan untuk berkunjung dan menemuinya setiap Minggu?

Sedangkan Ning Iyyah hanya menggigit bibir sesaat. Ia ragu untuk menjawab. Teringat pesan Bu Nyai dan kenyataan bahwa Gus Muntaz sempat berusaha menggagalkan perjodohan mereka. Jika Ning Iyyah mengatakan yang sebenarnya, pasti akan berpengaruh terhadap perkembangan kesehatan Gus yang belum stabil itu.

"Kita berteman Gus, kita pernah ngaji bareng," timpal wanita itu akhirnya.

Menahan perih karena harus menyembunyikan rasa cintanya yang selalu menanti balasan Gus Muntaz.

"Iyakah? Aku nggak percaya seorang Gus sepertiku bisa punya teman cantik sepertimu, Ning. Kenapa nggak aku nikahi saja wanita sebaik dirimu?" oceh Gus Muntaz tanpa melihat wajah terkejut dari Ning Iyyah.

"Heh?"

"Iya Ning, sampeyan itu cantik, baik lagi. Apa kita bisa menikah ya?" tanya Gus Muntaz mengambang saja.

Ning Iyyah merasa dadanya dihantam beton. Perkataan Gus Muntaz membuatnya merasa terbang ke atas langit. Bahkan di masa lalu, Gus Muntaz tak pernah mengatakan ini. Gus Muntaz pribadi yang cuek bahkan saat Ning Iyyah mendekat.

"Gimana, Ning?" Gus Muntaz terlihat memasang wajah serius.

"Gimana apa-apanya Gus?" Ning Iyyah terbata karena terkejut.

"Aku serius ingin menikahimu, tapi lihatlah. Untuk berjalan saja aku tidak mampu."

Ning Iyyah segera mengalihkan pandangannya. Pembicaraan ini bagaimana bisa diseriusi? Jika mereka menikah di saat Gus Muntaz belum mendapat ingatannya penuh, maka apa yang akan terjadi di saat Gus Muntaz mengetahui kenyataan bahwa dirinya dulu selalu menolak cinta Ning Iyyah?

"Yang penting Gus Muntaz sehat dulu," ujar Ning Iyyah menenangkan. Bagaimana bisa ia akan mengambil kesempatan untuk menikah dengan Gus Muntaz dengan keadaannya yang tak bisa ingat kisah menyedihkan mereka. Walau di sisi lain Ning Iyyah merasa tersanjung dengan pujian Gus Muntaz.

"Apa aku ini sangat jelek sampai sampeyan menolakku, Ning?" Gus Muntaz masih serius membahas ajakannya menikah.

"Sudahlah, Gus. Mari kembali ke ndalem. Gus Muntaz masih harus banyak istirahat supaya lekas pulih."

Dengan sigap Ning Iyyah kembali mendorong kursi roda bergerak kembali ke ndalem. Di sepanjang perjalanan ada saja santri yang salim takzim kepada Gus-nya itu.

Setengah jam kemudian, keduanya sampai di pintu ndalem. Bu Nyai segera menyambut keduanya dan menggantikan Ning Iyyah mendorong kursi roda.

"Mi, aku belum mau masuk kamar. Biar saja Muntaz di sini," cegah Gus Muntaz saat uminya itu mengarahkan kursi roda ke arah kamarnya.

Bu Nyai menurut. Ia sempat melihat sekilas wajah Ning Iyyah yang sedikit tegang. Meyakinkannya bahwa ada sesuatu yang terjadi selama jalan-jalan tadi. Atau mungkin Gus Muntaz mulai ingat bagaimana hubungannya dengan Gus Muntaz?

"Ya sudah, umi ambilkan minum ya?" tanya Bu Nyai.

Semenjak pulang dari rumah sakit, Bu Nyai selalu berusaha merawat putranya itu dengan baik. Ia merasa perlu untuk memperhatikan Gus Muntaz. Bu Nyai merasa mendapat kesempatan kedua untuk melakukan perannya sebagai seorang ibu. Karena semenjak dewasa, Gus Muntaz sering mengaji di luar pondok dan lama tak pulang. Kini Gus Muntaz mau tak mau harus terus berada di rumah.

"Ning, soal tawaranku tadi, aku serius," bisik Gus Muntaz membuat Ning Iyyah melongo.

"Kok masih bahas itu, Gus?" Ning Iyyah menundukkan wajahnya merasa malu.

"Lihat, Ning wajahmu merah," goda Gus Muntaz langsung membuat Ning Iyyah salah tingkah.

"Sudahlah, Gus. Jangan menggoda terus," keluh Ning Iyyah sedikit sebal tapi hatinya berbunga.

"Hahaha." Tawa Gus Muntaz pecah. Lucu sekali wajah Ning Iyyah saat ini.

"Ada apa, Muntaz? Kok kayaknya seneng banget?" Bu Nyai yang baru dari dapur tersenyum melihat tawa putranya.

Tawa Gus Muntaz selalu mengingatkannya pada diri sendiri. Gus Muntaz yang notabene anak pertama itu sering disebut copy-an wajahnya di kala masih singgel dulu.

"Ini lho, mi. Muntaz tadi bilang sama Ning Iyyah kalo Muntaz mau menikahi Ning Iyyah. Eh Ning Iyyahnya malu-malu."

Ning Iyyah semakin menundukkan kepalanya. Bisa-bisanya Gus di depannya itu menceritakan dengan gamblang apa yang mereka bahas tadi selama berjalan-jalan. Sedangkan Bu Nyai lumayan terkejut dengan perubahan tingkah Gus Muntaz kepada Ning Iyyah.

"Memangnya salah ya mi kalau Muntaz ingin menikah?" Gus Muntaz beralih memandang uminya.

Bu Nyai menggeleng. Muntaz memang berubah setelah sadar dari masa kritisnya itu. Dia yang biasanya cuek dengan wanita, kini menjadi santai menyampaikan keinginan hatinya.

"Apa Muntaz dulu nggak bisa cinta sama Iyyah? Kok kayaknya ngga mungkin kalau Muntaz menyia-nyiakan gadis sebaik dan secantik Ning Iyyah." tanya Gus Muntaz blak-blakan di depan uminya.

"Memangnya sekarang perasaan kamu gimana?" Pak Kyai Umar muncul dan menyahut perkataan Gus Muntaz.

"Muntaz takut kehilangan Ning Iyyah, Bah. Selama Muntaz sakit Ning Iyyah selalu ada untuk Muntaz. Bikin Muntaz berpikir kenapa Ning Iyyah nggak Muntaz nikahi saja biar Ning Iyyah nggak riwa-riwi?"

Semua terkejut dengan ucapan yang meluncur dari bibir Gus Muntaz. Abah dan uminya saling berpandangan. Sedangkan Ning Iyyah makin dalam menunduk. Sama sekali tak menyangka perubahan Gus Muntaz begitu mengejutkan. Di sisi lain ia bahagia bisa terus mendampingi laki-laki yang hampir menjadi suaminya itu. Tapi mengingat kembali kalimat Bu Nyai di saat Gus Muntaz di rumah sakit dulu membuatnya mematahkan harapan muluknya sendiri.

Hay, doble update ya guys. Selamat menjalankan ibadah sholat subuh. Jangan lupa tadarusannya 😍😍😍

Salam hangat,

Marantika Gita
Ngantang, 25 April 2020
03. 39

Gus Muntaz [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang