Part 77

4.8K 355 25
                                    

Di sisi lain, Ning Sysy berusaha menyeka air matanya yang tumpah saat melihat dari kejauhan Gus Muntaz nyambel dan makan dengan sayur mentah itu.

Tapi apa daya? Ning Sysy tahu di dalam hati Gus Muntaz hanya ada Ning Iyyah, adiknya. Bahkan cinta itu semakin berpijar setelah Ning Iyyah pergi dengan cara yang paling sempurna.

Ning Sysy membekap mulutnya sendiri. Lalu kembali ke kamar si kembar. Menatap dua bayi yang tidur nyenyak, ada perasaan ragu di dada Ning Sysy. Ia jadi membenci dirinya sendiri.

Tak lama berselang, terdengar langkah kaki menuju kamar Gus Atma dan Gus Atmi. Ning Sysy tegang sesaat. Mungkinkah Gus Muntaz yang akan kemari?

"Assalamualaikum, Ning. Saya kira tidak ada orang di ndalem."

Ning Sysy menoleh. Ia menelan kekecewaannya sendiri. Bagaimana mungkin Ning Sysy berharap sejauh itu? Ia jadi malu pada diri sendiri. Sudah tahu kalau Gus Muntaz tak akan mungkin menoleh padanya, masih saja Ning Sysy berharap.

"Waalaikumsalam, Ning Rishma." Ning Sysy maju dan memeluk istri dari Gus Salim itu.

"Abi, ada Ning Sysy." Ning Rishma berjalan cepat dan memanggil Gus Salim yang masih berada di ruang tamu.

"Afwan, aku langsung masuk tanpa mengetuk pintu. Pintunya terbuka." Ning Rishma memberi alasan. Tak ingin dianggap lancang, apalagi yang ia masuki adalah ndalem, bukan rumah biasa.

"Inggih, Ning. Pak Kyai dan Bu Nyai sedang tidak ada di tempat. Saya menjaga Gus kembar."

Ning Sysy baru akan kembali membuka mulutnya untuk mengatakan bahwa tadi ada Gus Muntaz di rumah. Tapi lebih dulu Gus Salim masuk dan mengatakan jika mereka bertemu Gus Muntaz di depan pondok.

Alis Ning Sysy langsung tertaut, entah bagaimana ia merasakan nyeri saat mengetahui Gus Muntaz sudah pergi tanpa kata dan tidak menegurnya sama sekali.

"Oh, iya."

Gus Salim dan Ning Rishma menatap ke dalam boks bayi. Melihat kedua anak Gus Muntaz dengan Ning Iyyah sedang tertidur pulas. Terlihat beberapa kali Gus Salim menghirup napas dalam. Entah apa yang ia rasakan saat melihat buah hati Ning Iyyah. Hanya saja perubahan wajah Gus yang pernah hampir menjadi suami Ning Iyyah itu sangat terlihat oleh Ning Sysy dan Ning Rishma, istrinya sendiri.

***

Sinar matahari sudah tepat di atas ubun-ubun ketika Gus Muntaz sampai di depan rumah orang tua mendiang istrinya. Tanpa sadar Gus Muntaz mengembuskan napas dalam. Sebenarnya ia ragu untuk melangkah ke dalam. Takut jika kedatangannya dianggap sebagai tanda meminta restu untuk menikah kembali.

"Niatku hanya menyambung silaturahmi," ujarnya pada diri sendiri. Inna a'malu binniyat. Segala perbuatan tergantung niat. Lagipula bagaimana bisa ia bersuudzon pada keluarga yang telah melahirkan dan mendidik putri seperti Ning Iyyah dan Ning Sysy.

Baru saja akan melangkah masuk, ternyata Pak Kyai ada di belakangnya dan langsung mengajaknya masuk. Nada bicara Pak Kyai yang hangat membuat Gus Muntaz kembali merasa bersalah. Ia tak seharusnya menyakiti putri dari gurunya ini hingga akhir hidupnya.

"Piye kabare thole kembar?" tanya Pak Kyai sambil menempatkan diri di kursi ruang tamu.

"Alhamdulillah, sae Pak Kyai--."

Gus Muntaz membekap mulutnya dengan tangan. Bisa-bisanya ia memanggil ayah mertuanya dengan tidak sopan. Gus Muntaz menunduk, merasa malu. Sedangkan Pak Kyai Jamil hanya tersenyum kecil. Melihat anak mantunya itu kikuk, Pak kyai jadi ikut bingung untuk berbicara.

"Ngger, lek wes ono sing kok pilih, ndang rabi maneh, yo," ujar Pak Kyai Jamil setelah terdiam beberapa saat. Mungkin menimbang terlebih dahulu apakah waktunya sudah tepat atau belum.

Gus Muntaz tersentak dan mengangkat wajahnya. Terkejut karena apa yang ia simpan rapat-rapat dan coba tepis malah langsung diungkapkan.

"Ojo suwe-suwe anggenmu sedih."

"Tap, tapi, Bah,--"

Pak Kyai menggeleng. Memang sulit mencari pengganti dari orang yang sudah terbiasa ada di samping kita.

"Bedanya istri yang cerai mati dan suami yang cerai mati, itu masa iddah bagi perempuan. Yang bertujuan mengetahui apakah ia sedang mengandung atau tidak. Kalau laki-laki boleh langsung menikah lagi," jelas Pak Kyai Jamil.

Bola mata Gus Muntaz melebar sesaat. Masih sulit dipercaya bahwa ayah mertuanya dengan mudah memberi restu untuknya menikah kembali.

"Opo tak golekne?"

Gus Muntaz tergagap menjawab. Tapi ia berhasil mengatakan dengan senang hati akan menerima usulan itu. Gus Muntaz menunggu dengan dada berdebar. Pak Kyai Jamil terlihat berpikir.

"Ada janda cerai mati, tanpa anak, dan lewat masa Iddah. Dia berwatak keras, cekatan, dan penyendiri di lain waktu."

Gus Muntaz mendengar dengan seksama penjelasan Pak Kyai Jamil. Hanya saja hatinya langsung menyebut nama wanita yang disebutkan ciri-cirinya itu. Entah benar atau kali ini ia akan kecele.

"Wanita itu orang mana, Pak Kyai?" Dada Gus Muntaz semakin berdebar. Benarkah tebakannya bahwa wanita yang ia pikirkan yang sedang dibicarakan Pak Kyai Jamil?

"Asli Malang, sini. Dia sudah memintaku mencarikan jodoh untuknya. Insyaallah dia sholeh. Hanya saja,..."

"Hanya saja apa Pak Kyai?"

Pak Kyai Jamil terdiam sesaat. Menunduk dan menyembunyikan sesuatu yang mendadak membuatnya meragu untuk melanjutkan ikhtiarnya kali ini.

"Dia bukan orang sembarangan."

Mendengar kalimat terakhir, Gus Muntaz langsung mengerti siapa yang dimaksud oleh Pak Kyai Jamil.

"Nuwun sewu, Bah. Apa yang Abah maksud adalah Ning Sysy?"

Gus Muntaz meneliti setiap perubahan di wajah laki-laki tua di depannya. Raut wajah Pak Kyai yang terkejut, membuat Gus Muntaz yakin tebakannya benar.

"Iya, Ngger. Aku mau menjodohkan antum sama Qadsia."

Seketika kepala Gus Muntaz berdenyut. Nama yang disebutkan Pak Kyai terasa tidak asing. Walau ia sering bertemu Ning Sysy, ada sesuatu yang berkelebat di benaknya. Ning Sysy, Qadsia. Gus Muntaz seperti memikirkan sesuatu yang sulit ia jangkau. Tapi semakin ia berusaha menjangkau pikiran itu, kepala Gus Muntaz semakin terasa pening.

"Maaf, Bah. Ana tidak bisa menikah dengan Ning Sysy. Ana merasa tidak sekufu dengannya."

Pak kyai Jamil melihat wajah berkeringat dingin di depannya dengan aneh. Gus Muntaz seperti memucat setelah Pak Kyai menyebut nama lain dari Ning Sysy.

"Tapi, Ngger. Qadsia sudah lama menunggumu."

"Menunggu?" Gus Muntaz mengulang perkataan Pak Kyai. Dadanya masih berdetak sangat kencang. Dan belum bisa dikendalikan.

"Iya, Qadsia telah lama menyukai antum. Tapi keburu Iyyah ketemu dan naksir antum. Jadi Qadsia mengalah."

Kepala Gus Muntaz seperti dijatuhi beban berat. Kepalanya langsung pening. Bahkan ia memegangi kepalanya. Entah mengapa berkali-kali mendengar nama Qadsia membuat tubuhnya bereaksi sangat tidak normal.

"Kenapa, Taz?"

"Afwan, Bah. Muntaz pamit, assalamualaikum."

Sambil menahan sakit di kepalanya, Gus Muntaz maju dan mencium takzim tangan Pak Kyai. Ia segera memohon diri.

Assalamualaikum warahmatullahi wa barokatuh teman-teman

Lanjut lagi kuy kisahnya Gus Muntaz.

Menurut kalian gimana kelanjutannya?

Kalian tim mana nih?

Ngebiarin Gus Muntaz nikah sama Ning Sysy.

Atau mending sama yang lain aja?

Jangan lupa vote dan komennya ya 😍😍

Love you, gaes.

Gus Muntaz [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang