Part 25

7.1K 442 7
                                    

Gus Didin dan Ning Lia akhirnya datang untuk menemani Gus Muntaz yang ditinggal di rumah. Keduanya tercengang melihat Gus-nya itu sudah berjalan sendiri. Sudah pasti ini semua takdir Allah, Gus Muntaz bisa berjalan langsung setelah duduk saja di kursi roda. Biasanya orang yang patah tulang harus berlatih pelan lepas dari kursi roda dan menggunakan kruk atau egrang.

Gus Didin yang terbaru langsung memeluk kakaknya itu. Tak terasa air matanya menetes di ujung pelupuknya.

"Aku bahagia banget Gus bisa jalan."

Gus Didin memeluk Gus Muntaz. Tak terasa air mata mengumpul di sudut matanya. Apalagi melihat kedekatan Gus Muntaz dengan Ning Iyyah. Ia berfirasat tak lama lagi cinta diantara keduanya semakin dalam. Gus Didin memandang asing kepada sosok lain yang berdiri tak jauh dari Ning Iyyah.

"Dia sepupuku, Gus." Ning Iyyah yang menangkap wajah heran Gus Didin segera menyahut.

"Gus Salim, Salimurrahman." Gus Salim maju dan memperkenalkan diri.

Sambil menerima jabat tangan Gus Salim, Gus Didin tersenyum ramah. Membuat Gus Salim merasa bahwa adik dari Gus Muntaz ini lebih baik daripada kakaknya.

"Aku suka gaya antum, lebih ramah dari kakak antum." Gus Salim menepuk pundak laki-laki di depannya, membuat Gus Muntaz mendelik.

"Mending antum yang jadi sepupu iparku, daripada kakak antum itu." Lalu Gus Salim mendekatkan mulutnya ke telinga Gus Didin sembari berbisik, "Gusmu itu aneh."

Gus Muntaz yang sejak semula tak nyaman dengan perangai Gus Salim langsung melirik sinis. Bagaimana bisa Gus Salim ingin Gus Didin yang jadi suami Ning Iyyah? Gus Didin kan sudah memiliki Ning Lia.

"Antum kenapa sih selalu menyebalkan." Gus Muntaz menekankan kata menyebalkan, berharap itu mampu membalas sakit hatinya karena Gus Salim lebih menyukai adiknya ketimbang dirinya.

"Selalu? Orang kita ketemu ya baru ini, kok bisa-bisanya bilang saya nyebelin. Antum itu Gus sudah pasti menyebalkan sampai Ning Iyyah sering melamun mikir antum," cerocos Gus Salim tanpa sadar membuat Ning Iyyah menunduk.

Walau ia terkejut mendengar fakta itu, Gus Muntaz berusaha terlihat cool di depan banyak orang.

"Jadi gimana, Gus Didin?" Gus Salim kembali ke sisi Gus Didin.

"Gimana apanya, Gus?" Gus Didin yang tidak mengerti menautkan alisnya.

"Soal tawaranku, Iyyah ini meski pendiam tapi anaknya rajin ngaji," balas Gus Salim. Ning Iyyah yang dibicarakan sebenarnya tidak terlalu suka dengan ceplas-ceplos sepupunya itu, tapi ia menahan diri.

"Maaf, Gus. Saya sudah nikah, itu istri saya," jawab Gus Didin menunjuk Ning Lia yang membuat minum di dapur.

Melihat perkiraannya keliru, Gus Salim meringis sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia benar-benar tidak punya muka saat ini. Sedangkan Gus Muntaz menatap puas.

"Yoh kuwi rasakno, kapok," batinnya.

****

Keesokan harinya, setelah Pak Kyai Umar dan istrinya telah pulang, Gus Salim dan Ning Iyyah yang sudah tidak berkepentingan itu pamitan. Ada hal aneh yang terjadi, yaitu tatapan sendu Gus Muntaz saat kepergian Ning Iyyah.

"Kenapa le, kok kayak sedih gitu?" Bu Nyai mengelus pundak putranya.

"Umi, ada yang pengen Muntaz sampaikan." Gus Muntaz menunduk.

Kedua orang tuanya saling berpandangan. Apa mungkin Gus Muntaz telah mengingat semuanya?

"Apa le?"

Gus Muntaz terlihat menghela napas sebelum memulai berbicara. Sedangkan kedua orang tuanya menunggu-nunggu apa yang akan disampaikan Gus Muntaz.

"Muntaz pengen menikahi Ning Iyyah, kalau bisa segera, biar ndak keduluan orang lain," ujarnya serius.

Pak Kyai Umar dan istrinya masih saling berpandangan. Keduanya berusaha mendalami perasaan anaknya yang jauh berbeda dari dugaannya.

"Sebenarnya kamu dan Ning Iyyah itu, ,,,," Bu Nyai menoleh ke arah Pak Kyai meminta persetujuan untuk melanjutkan ceritanya. Setelah melihat suaminya itu mengangguk, ia menghela napas menyiapkan diri.

"Kamu dan Ning Iyyah itu sudah dijodohkan, tinggal lamaran resmi sampai kamu mengalami kecelakaan." Bu Nyai beranjak dari duduknya lalu membuka lemari kayu di ruang itu. Gus Muntaz lumayan terkejut melihat kotak-kotak rapi berisi pernak pernik lamaran yang sudah dibungkus.

"Sehari sebelum kecelakaan, umi dan Abah sudah menyiapkan semua keperluan lamaran." Bu Nyai memperlihatkan satu persatu kotak yang dibungkus rapi. Ada mukena, setelan gamis dan kerudung, masih banyak lagi.

"Tapi kenapa Ning Iyyah bilangnya kami cuma berteman?" Bu Nyai kembali menoleh suaminya seakan memberikan kewenangan suaminya menjawab pertanyaan Gus Muntaz kali ini.

"Itu karena Abah merasa bersalah, le."

Gus Muntaz semakin tidak mengerti. "maksud Abah?"

"Kamu dulu selalu menolak Ning Iyyah, jadi Abah pikir setelah kamu siuman lebih baik tidak membahas itu dulu." Pak Kyai menatap putranya.

"Tapi semua keputusan ada di tanganmu le, Abah sama umi nggak akan memaksa."

Gus Muntaz tertegun. Aneh. Mengapa ia menolak Ning Iyyah? Padahal yang kini ia rasakan adalah luapan rasa cinta seorang laki-laki kepada lawan jenisnya. Ia merasakan dadanya bergetar saat berada bersama Ning Iyyah. Saat berpikir terlalu keras mengapa ia menolak Ning Iyyah, kepalanya terasa berdenyut nyeri. Gus Muntaz bahkan tidak bisa mengingat bagaimana hubungannya dengan Ning Iyyah dulu.

"Apa yang membuatku ragu untuk menerima perjodohan ini?" bisiknya pada diri sendiri.

Melihat anaknya meragu, Bu Nyai ingin sekali mengatakan tentang Siti Qadsia. Tapi Bu Nyai menahan diri. Semua akan semakin runyam. Biar saja Gus Muntaz yang menemukan jawabannya sendiri. Karena Bu Nyai yakin kalau yang sudah digariskan Tuhan tidak akan pernah meleset dari ketentuanNya. Siapapun jodoh Gus Muntaz, mereka akan dipertemukan dan disatukan di saat yang tepat.

Assalamualaikum teman-teman, maaf ya hari ini telat update. Biasanya Nemani sahur eh malah sesiang ini.

Bagaimana kabar teman-teman? Stay safe ya teman-teman. Tetap #dirumahaja sambil baca cerita Gus Muntaz 🤣🤣

Gimana ya kelanjutan cerita Gus Muntaz ini?

Selamat membaca ya,

Salam hangat,

Marantika Gita
Ngantang, 27 April 2020

Gus Muntaz [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang