Part 73

4.9K 342 6
                                    

Hari terus berganti, setelah semua mengetahui status Ning Sysy hari itu, kehidupan Ning Sysy sedikit lebih berat. Apalagi ketika ia keluar pondok dan bertemu orang lain. Pandangan sinis dari orang sekitar mau tak mau mempengaruhi perasaan Ning Sysy. Ia sampai ingin kembali mengurung diri seperti dulu.

Tapi untungnya, Ning Iyyah yang sedang hamil tinggal di pondok untuk menemani kakaknya. Setidaknya agar kakaknya itu tidak kesepian.

Seperti hari ini, Gus Muntaz dan Ning Iyyah sedang duduk di ruang tamu. Tak hanya berdua, karena Pak Kyai Jamil beserta Bu Nyai juga ada di sana.

Suara pintu kamar Ning Sysy terbuka, semua mata memandang ke arah wanita yang baru keluar dari kamar. Kecuali tentu saja Gus Muntaz yang menjaga pandangannya agar tak kembali khilaf. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk setia kepada istrinya.

"Masyaallah tabarakallah, Nduk." Bu Nyai Jamil menyongsong putrinya yang kini mantap mengenakan cadar.

Ning Sysy masih menunduk, ia hanya berani mengangkat wajahnya ke arah Pak Kyai Jamil. Ia tak berani menoleh ke arah Ning Iyyah karena posisi duduk Gus Muntaz tepat berada di sisinya.

Tentu saja saat ini Ning Iyyah berkaca-kaca. Bersyukur bahwa saudarinya telah mengenakan cadar untuk menyempurnakan ikhtiar menutup aurat. Ning Iyyah saat ini tak memakai cadar di dalam rumah yang hanya berisi mahramnya. Berbeda dengan Ning Sysy yang saat berkumpul seperti ini masih harus mengenakan cadar karena adik iparnya, Gus Muntaz bukan mahramnya.

Ning Iyyah berjalan sedikit bersusah payah faktor perutnya yang mulai membuncit. Ia menghampiri Ning Sysy dan membawa kakaknya ke dalam pelukannya. Sangat bahagia karena akhirnya Ning Sysy memakai cadar.

"Alhamdulillah, Mbak," ungkapnya menatap Ning Sysy dengan penuh kasih sayang.

"Doakan Mbak, yah. Semoga bisa Istiqomah." Ning Sysy mengelus punggung tangan adiknya.

"Jadi apa ini artinya kamu menerima pinangan ustaz Azam, Nduk?" Pak Kyai Jamil membuat semua mata tertuju padanya.

Bahkan Bu Nyai belum mendengar berita bahagia ini dari suaminya. Gus Muntaz sedikit terlonjak mengetahui jika Ning Sysy akan segera mengakhiri masa jandanya. Apalagi ia mengenal laki-laki yang dimaksud oleh ayah mertuanya.

"Ustaz Azam yang lulusan Mesir itu, Bah?" Suara Gus Muntaz memecah keheningan. Kini Ning Iyyah menatap tajam suaminya.

"Jangan cemburu, Ning. Aku tahu karena ustaz Azam melamar di saat Abah bersamaku." Gus Muntaz segera memberi penjelasan. Ia tak ingin Ning Iyyah salah paham.

"Tapi apa harus secepat ini?" Ning Iyyah melirik ke arah Ning Sysy yang masih menunduk. Pasti berat bagi seorang wanita untuk menikah kedua kalinya. Apalagi belum ada setahun kepergian mendiang Gus Mohamed.

"Semua keputusan ada di tangan Sysy." Pak Kyai menoleh ke arah putrinya.

Semua menunggu kalimat yang akan diucapkan oleh Ning Sysy. Tapi nihil. Ning Sysy memilih diam saja tidak menanggapi. Bukan karena ia tak tertarik dengan perjodohan itu. Tapi karena ia lebih memikirkan hal lain. Jujur saja Ning Sysy masih belum mampu melupakan Gus Mohamed. Laki-laki yang telah menghias hidupnya dengan qonaah. Tiba-tiba bulir air mata jatuh dari pelupuknya. Untung saja tidak ada yang memperhatikan. Bagaimanapun juga hati Ning Sysy kini sangat rapuh. Ia merasa kurang bergairah dalam hidup. Apalagi kala malam menyelimuti langit. Ia akan kembali terbayang saat kematian merenggut kekasihnya. Ning Sysy menggigit bibir. Jika ia menikah lagi, maka bagaimana perasaannya?

***

Malam sudah larut, ketika Ning Iyyah belum juga mampu memejamkan mata sedikitpun. Kandungannya sudah membesar, trimester pertama dan kedua sudah terlewati. Ning Iyyah berbalik, menoleh kepada suaminya yang tertidur pulas dengan deru napas teratur. Ning Iyyah mendekat dan mengelus wajah Gus Muntaz. Matanya tiba-tiba berkaca-kaca. Normalkah wanita memikirkan persalinannya nanti?

Wajar bukan wanita tak bisa tidur karena membayangkan proses mempertaruhkan nyawanya demi melahirkan kedua anaknya. Ning Iyyah kembali menatap langit-langit kamar.

Jodoh, rezeki, dan maut, ada di tangan Allah. Bagaimana bisa ia melupakan hal itu. Bahkan jika Allah menakdirkannya meninggal di saat berjuang melahirkan kedua anaknya ke dunia. Bukankah itu salah satu keinginannya? Wafat dengan syahid.

Sekali lagi, Ning Iyyah menatap suaminya dengan hati yang tak karuan. Rasa cintanya pada Gus Muntaz seolah membutakannya. Ia kembali mengingat perjalanannya hingga Allah tentukan laki-laki inilah yang pemilik tulang rusuknya.

Tak berselang lama, tendangan halus di perutnya membuat kandung kemihnya terasa penuh. Padahal malam ini sudah empat kali ke kamar mandi.

Ning Iyyah menatap suaminya lagi. Ingin meminta tolong diantar ke kamar mandi, tapi Ning Iyyah merasa kasihan melihat pulasnya Gus Muntaz beristirahat. Ning Iyyah berusaha bangkit dan berjalan dengan langkah pelan. Baru Lima langkah dari kamar, Ning Iyyah bersandar pada tembok. Perutnya yang buncit membuatnya kehabisan tenaga untuk berjalan lagi. Tak terasa, peluh menetes dari keningnya. Menatap kamar mandi yang kurang sepuluh langkah, Ning Iyyah menghembuskan napas dan bersiap melangkahkan kakinya.

Ning Iyyah sengaja tak menghidupkan lampu ruang tengah karena merasa hapal letak kamar mandi. Sesampai di depan pintu kamar mandi, Ning Iyyah sudah siap berjongkok saat tiba-tiba seekor cicak jatuh ke tangannya.

"Aaa!"

Selain berteriak, Ning Iyyah juga menggerakkan tubuhnya untuk mengusir cicak itu. Sayangnya saat ia mundur tersandung dan jatuh ke belakang.

Ning Iyyah shock bukan main. Perutnya langsung mengeras. Tak lama kemudian ia merasakan air mengalir dari selangkangannya. Dalam suasana gelap begini, Ning Iyyah tak tahu apa yang mengalir. Apa mungkin darah atau air kencingnya yang sudah tak tertahan.

"Tolong, tolong."

Ning Iyyah berusaha berteriak meminta tolong. Ia sudah merasakan ada yang tidak beres pada kandungannya. Perutnya yang masih kencang kini terasa mulai keram seperti nyeri haid.

Tak lama, Pak Kyai dan Bu Nyai yang kamarnya lebih dekat dengan kamar mandi buru-buru keluar dan menyalakan lampu. Keduanya terkejut melihat Ning Iyyah jatuh di depan kamar mandi dan darah segar mengalir dari selangkangannya.

"Astaghfirullah," pekik Bu Nyai segera meraih anaknya.

"Bah ayo kita bawa ke rumah sakit. Muntaz bangunkan, Bah."

"Ya Allah Ning Iyyah." Tak lama kemudian Gus Muntaz juga keluar dari kamar. Tak menyangka melihat istrinya menahan sakit.

"Muntaz siapkan mobil, panggil salah satu santri untuk mengantar ke rumah sakit," perintah Bu Nyai sambil berusaha membantu Ning Iyyah berdiri.

Sedangkan Ning Iyyah sudah mulai tidak karuan merasakan desakan di perutnya. Padahal ia diperkirakan melahirkan dua bulan lagi, tapi dengan insiden tadi. Sepertinya ia akan segera melahirkan. Ning Iyyah hanya mampu beristighfar dalam hati. Bahkan ia belum beristirahat sejak seharian ini.

"Umi, titip anak-anak Iyyah ya." Ning Iyyah menangis. Merasakan tulang belulangnya bagai dihantam palu. Apalagi perutnya nyeri setiap beberapa menit sekali. Rasanya ia tak kuat untuk berjalan ke mobil.

Assalamualaikum warahmatullahi wa barokatuh.

Teman-teman. Maafkan saya ya kalau cerita ini seperti terburu-buru. Mohon doanya juga. Mau bikin sequelnya.

Seperti saran beberapa pembaca kalau cerita ini saya lanjutkan pelan-pelan makan akan panjang dan muter-muter. Jadi mending di endingkan biar bisa lanjut ke sequelnya.

Gus Muntaz [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang