Part 70

5.4K 375 27
                                    

"Ning Sysy?" suara itu mengejutkan Ning Sysy yang menyandarkan tubuhnya di balik pintu ndalem.

"Eh, Bu Nyai." Ning Sysy segera menghapus air mata di wajahnya. Tak menyangka mengurai kenangan bersama Gus Mohamed mampu meluruhkan kesedihannya.

"Kok nggak masuk, Ning? Mau ketemu Iyyah ya?" Bu Nyai melongok ke dalam dan melihat putra serta menantunya sedang duduk bersama di ruang tamu. Seketika Bu Nyai sedikit terkejut. Mungkinkah melihat Gus Muntaz bersama istrinya membuat Ning Sysy menangis? Mungkinkah Nung Sysy yang telah menjadi istri orang Yaman itu masih memiliki perasaan kepada putranya? Pertanyaan itu terus berputar di kepala Bu Nyai. Ia jadi risau sendiri.

"Maaf, Bu Nyai. Tolong jangan salah paham, saya tidak menangis karena masih menyukai Gus Muntaz, saya menangis karena hal lain." Ning Iyyah langsung menghapus kekhawatiran Bu Nyai.

"Maaf, Ning. Saya sudah suudzon dengan Ning." Bu Nyai menyentuh pundak wanita dengan senyum indah di depannya. Ia merasa malu telah berprasangka buruk pada Ning Sysy.

"Mari masuk dulu, Ning," ajak Bu Nyai. Sayangnya Ning Sysy menolak dengan halus ajakan itu. Takut mengganggu kebersamaan sepasang suami istri di dalam.

"Sebagai kakak dari Iyyah, saya juga ingin melihat ia bahagia." Akhir Ning Sysy lalu berpamitan kepada mertua dari adiknya itu. Ia merasa tak baik jika lama-lama di sini, Ning Sysy masih harus berkeliling ke pesantren untuk memberi seminar motivasi belajar di Yaman. Ia ingin makin banyak orang Indonesia yang menuntut ilmu di Yaman. Sebagai mana wasiat terakhir mendiang suaminya.

"Saya mohon maaf Bu Nyai, jika selama disini merepotkan dan pernah melakukan sesuatu yang menyakiti. Saya harus segera berkeliling ke pesantren lain untuk melanjutkan seminar." Pamitnya, Bu Nyai menatap mata kaca Ning Sysy yang indah. Meski bibir wanita di depannya ini tersenyum. Bu Nyai melihat kesedihan mendalam di mata Ning Sysy.

"Sama-sama Ning, Bu Nyai juga punya salah. Mohon dimaafkan ya. Tapi apa nggak pamitan sama Iyyah dulu?"

Ning Sysy menggeleng, ia berdalih waktunya sudah terjadwal sehingga harus segera pindah. Saat ditanya kemana ia akan pergi, Ning Sysy tidak menjawab. Dan hanya tersenyum ramah. Bu Nyai tak bisa memaksanya mengatakan tujuannya kini.

Bu Nyai hanya mampu menatap punggung Ning Sysy yang akhirnya berjalan menjauh. Entah mengapa, ia melihat selubung kepedihan disana. Ada yang mengganjal di pikiran Bu Nyai, yaitu mengapa Ning Sysy pergi sendirian. Seharusnya suaminya menemani kepergian Ning Sysy. Bu Nyai melangkah ke dalam rumah meski dengan pikiran yang dipenuhi tanda tanya tentang Ning Sysy. Sejak dulu, Ning Sysy memang penuh dengan misteri yang tak bisa dibaca gamblang.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," balas Ning Iyyah dan Gus Muntaz segera menyudahi ngaji dan beranjak mencium tangan Bu Nyai yang baru melewati pintu.

"Dari mana, mi?" tanya Gus Muntaz basa-basi.

"Kepo!"

Gus Muntaz mneyebikkan bibirnya. Uminya itu terkadang menjawab dengan jawaban yang tak terduga dan menyebalkan.

"Oh iya, Yah. Ning Sysy tadi pamitan sama umi. Tadi dia buru-buru," ujar Bu Nyai membelai perut Ning Iyyah yang sedikit buncit.

"Kok nggak pamitan sama Iyyah?" bisik Ning Iyyah sedikit heran, harusnya Ning Sysy menemuinya dulu jika mau pergi.

"Katanya sudah SMS kamu," tambah Bu Nyai. Membuat Ning Iyyah langsung mengambil handphone dan mengecek memang ada dua panggilan dan sebuah pesan dari Ning Sysy.

"Oalah," keluhnya.

"Ngomong-ngomong, kok aneh sih. Ning Sysy ke Indonesia tanpa suaminya?" Gus Muntaz kembali duduk di samping istrinya sambil mengutarakan keheranannya. Jangankan Gus Muntaz, Ning Iyyah yang adik dari Ning Sysy pun sebenarnya heran kenapa Gus Mohamed tidak turut ikut ke Indonesia. Hanya saja ketika Ning Iyyah menanyakannya pada kakaknya itu, Ning Sysy hanya menjawab Gus Mohamed sedang memiliki urusan penting di sana yang tidak bisa ditinggal.

"Kata Mbak Sysy, Gus Mohamed di sana sedang sibuk jadi tidak bisa ikut ke Indonesia." Ning Iyyah menatap suaminya. Meski ia juga belum puas dengan jawaban Ning Sysy tentang ketidakhadiran Gus Mohamed di sisi istrinya.

"Gus, pasti Mbak Sysy sekarang di rumah. Apa kita bisa ke sana? Sebentar lagi Mbak Sysy berkeliling ke pondok. Saya pasti susah kalau pengen ketemu." Ning Iyyah merengek lagi. Entah ini rengekan keberapa seharian ini. Gus Muntaz harus super sabar menghadapi istrinya yang sedang mengandung empat bulan itu. Mulai dari ngidam makanan yang aneh, juga keinginan-keinginan nyeleneh.

"Iya, Ning. Kapan? Besok saja ya?" tawar Gus Muntaz, seharian ini tadi ia sudah berkeliling mencari buah mangga muda untuk Ning Iyyah. Sayangnya, buah itu belum musimnya sehingga sulit ditemukan.

"Yaudah, kalo Gus Ndak sayang sama saya." Ning Iyyah menunduk sambil mengeluarkan kalimat ampuh yang mampu membuat Gus Muntaz bangkit menuruti keinginan istrinya.

"Yasudah, ayo berangkat." Gus Muntaz berdiri dengan kaki yang agak berat. Untungnya ia ke rumah Ning Iyyah dengan mobil yang disetiri kang santri, sehingga Gus Muntaz bisa sambil istirahat. Meski ia tak yakin bisa beristirahat sebentar karena Ning Iyyah akan terus bercerita di dalam mobil. Bercerita tentang apapun. Seolah mulutnya tak lelah digunakan selama dua belas jam lebih untuk bercerita.

Di sepanjang perjalanan, Ning Iyyah berbicara dengan Gus Muntaz. Ia menceritakan mimpinya memiliki dua putra kembar dengan nama yang mirip.

"Gus, nanti nama anak kita pakai nama yang semalam ada di dalam mimpi saya ya?"

"Hem?"

Mendapat balasan singkat, Ning Iyyah langsung menangis. Entah mengapa ia jadi cengeng sekali. Bahkan tangisnya kini sudah kedelapan kali dalam sehari ini.

"Iya iya, Ning. Memangnya siapa nama anak di dalam mimpimu? Bukannya aku sudah bilang pengen nama Tirta Aji?" Gus Muntaz menimpali dengan senyum yang dibuat-buat.

"Saya nggak suka sama nama Tirta Aji, Gus. Saya maunya nama anak kita itu Atma dan Atmi. Kan kembar, bagus kan?" Ning Iyyah mendekatkan wajahnya pada suaminya. Ia ingin melihat bagaimana wajah Gus Muntaz berubah.

"Iya, aku setuju. Manut saja."

Tak terasa, keduanya sudah sampai di depan ndalem. Ning Iyyah segera keluar dari mobil begitu mobil dimatikan mesinnya. Ning Iyyah baru sampai di samping pintu, ketika mendengar tangis dari dalam ruang tamu.

"Jadi, kamu sekarang janda, Nduk?" Bu Nyai Jamil kembali menatap putri pertamanya dengan lelehan air mata. Sedangkan Ning Sysy yang menangis, berusaha mengangguk.

Mendengar kalimat yang keluar dari mulut uminya, Ning Iyyah limbung. Ia benar-benar terkejut mengetahui bahwa kakaknya telah menjadi janda. Ia belum tahu lebih lengkap. Hanya saja kalimat itu benar-benar membuatnya shock.

Assalamualaikum teman-teman.

Mau nanya nih, apa menurut teman-teman cerita ini mbulet? Muter-muter terus? Apa perlu segera di endingkan saja? Atau kita lanjutkan pelan-pelan seperti biasa?

Please, jawab ya guys untuk bahan pertimbangan saya. 🙏🙏🙏

Vote dan komennya ya ditunggu banget. 😍😍

Gus Muntaz [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang