Part 34

6.6K 416 9
                                    

Akhirnya, malam berlalu dengan syahdu. Setelah tragedi dikunci oleh Ning Iyyah, Gus Muntaz mendapati istrinya itu telah tertidur pulas saat kembali ke kamarnya. Gus Muntaz mengucek matanya, masih tak percaya telah berbagi tempat tidur dengan Ning Iyyah.

Tanpa sadar Gus Muntaz tersenyum. Wanita itu masih menutup matanya, meski jam di dinding sudah menunjukkan pukul 02.00 dinihari--dimana biasanya Gus dan Ning mendirikan qiyamullail untuk menirakati santri-santri yang sedang menuntut ilmu.

Gus Muntaz membelai pipi putih Ning Iyyah. Saat sedekat ini dengan Ning Iyyah, ia ingin sekali mendekapnya. Mungkin inilah nikmatnya melaksanakan sunnah Rosulullah. Memiliki tempat untuk menyalurkan kasih sayang.

Ning Iyyah hanya menggeliat lalu kembali terlelap. Tak sadar Gus Muntaz lama menatap wajah polos istrinya tanpa merasa bosan. Bahkan mungkin jika semalaman menikmati wajah itu Gus Muntaz merasa tak cukup.

"Kamu cantik, Ning. Aku merasa bodoh karena baru menyadarinya sekarang," bisik Gus Muntaz pelan. Ia tak ingin membangunkan kekasih halalnya dari tidur nyenyaknya.

"Entah apa yang menutup mataku, Ning. Sampai tak bisa melihat kecantikanmu." Gus Muntaz membabat jarak di antara keduanya. Ia ingin menikmati cinta halal ini meski harus menunda qiyamullailnya.

Ternyata, efek dari keputusan yang diambilnya itu lumayan mencengangkan. Mata Gus Muntaz yang segar mulai mengantuk. Ia kembali terlelap sambil memeluk istrinya. Dan keduanya sama-sama melewatkan waktu untuk qiyamullail.

Waktu terus berjalan. Ning Iyyah merasakan tubuhnya berat. Seperti ada yang mengekangnya. Ia terbangun ketika telinganya menangkap suara iqamah dari masjid Jami. Ning Iyyah segera membuka lebar matanya. Terkejut saat menyadari ia terlelap dalam dekapan Gus Muntaz. Dadanya langsung berbunga-bunga layaknya taman yang disiram air hujan.

Kesadaran Ning Iyyah kini telah penuh. Matanya memicing saat melihat seekor nyamuk hinggap di pipi tembam Gus Muntaz. Wanita itu berusaha membangunkan suaminya dengan menggoyangkan badannya. Tapi Gus Muntaz masih belum terbangun. Apalagi ketika melihat nyamuk itu mulai menancapkan belalainya untuk menghisap darah Gus Muntaz. Rasanya Ning Iyyah tak rela jika berbagi suami meski dengan nyamuk sekalipun. Ning Iyyah berancang-ancang. Dia menghitung dalam hati hingga akhirnya ia sampai pada hitungan ketiga dan memukul nyamuk itu sekeras yang ia mampu.

Plak! Gus Muntaz langsung terbangun dan memegangi pipinya yang menghangat akibat tenaga kuda yang digunakan Ning Iyyah untuk menamparnya.

"Kenapa sih, Ning? Aku salah apalagi?" Gus Muntaz menggosok pipinya untuk meredakan rasa kebas akibat tamparan keras itu.

Sedangkan Ning Iyyah melongo di tempat. Ia melihat tangannya berkali-kali. Seakan amnesia telah menampar suaminya. Padahal bukan itu yang ia maksud. Ia hanya ingin menyingkirkan nyamuk yang akan menggigit suaminya itu.

"Maaf, Gus. Tadi ada nyamuk." Ning Iyyah merasa bersalah melihat pipi Gus Muntaz merah bekas tangannya.

"Nyamuk apa Ning? Di sini kan jauh dari sawah, mana mungkin ada nyamuk?" Gus Muntaz sedikit keceplosan. Mana ada laki-laki yang mampu menahan diri saat berada di posisinya. Ditampar saat tidur.

"Beneran, Gus. Tadi ada nyamuk di pipi njenengan." Ning Iyyah masih berusaha menjelaskan kronologis kejadiannya. Tapi Gus Muntaz terlihat tak percaya.

"Saya serius Gus. Lagian Gus kan nggak punya salah, mana mungkin saya berani menampar Gus. Saya cuma menyingkirkan nyamuk yang akan menggigit Gus Muntaz."

Melihat wajah ketakutan Ning Iyyah, Gus Muntaz mulai berpikir untuk mengakhiri suudzonnya. Barangkali memang benar ada nyamuk yang mampir di pipinya. Dan bukankah itu menunjukkan rasa sayang Ning Iyyah yang begitu besar sampai tak rela dirinya disakiti meski hanya oleh seekor nyamuk.

Gus Muntaz memandang sekitar. Mencari alasan untuk mengalihkan pembicaraan. Ia merasa tak enak melihat Ning Iyyah ketakutan.

"Ning, sudah subuh. Ayo segera mengambil wudhu." Gus Muntaz beranjak dari tempat tidurnya. Ia berjalan keluar kamar membiarkan Ning Iyyah menyusulnya atau tetap di sana.

Tak sengaja, di kamar mandi sedang digunakan anggota keluarga yang lain. Mau tak mau Gus Muntaz bergerak ke kamar mandi santri agar bisa segera berwudhu. Ia baru saja akan membasuh mukanya saat tiba-tiba muncul seorang santri di depannya.

"Astaghfirullah."

Bukannya mengucap salam, Kang Fadil malah cengengesan. Wajahnya tiba-tiba berubah saat melihat bekas merah di pipi Gus-nya itu.

"Gus, apa sampeyan habis bertengkar sama Ning Iyyah?" tanya Kang Fadil yang entah sejak kapan pindah mondok di sini.

"Wes, Kang. Nggak usah kepo," timpal Gus Muntaz agak sinis.

"Jangan galak-galak dong, Gus. Kan sudah ketemu pawangnya."

"Wes, ngaleh po tak siram?" ancam Gus Muntaz mengambil gayung berisi air.

"Hoalah, Gus. Njenengan kok Ndak seru, se. Padahal saya kan mau tau." Kang Fadil mundur beberapa langkah. Sejak mengenal Gus Muntaz sebagai Kang Alfa dulu, ia tahu karakter galak-galak baiknya. Memang galak, tapi aslinya baik.

"Wes, Kang. Jangan melakukan hal yang tidak manfaat. Masalah rumah tangga itu hanya ada di kamar saya dan istri saya. Sampeyan, orang luar nggak perlu tau," jelas Gus Muntaz tegas.

"Kalau mau tau ya sampeyan nikah saja. Masalah-masalah rumah tangga pasti hanya itu-itu saja," lanjutnya dengan nada yang mulai merendah. Rasanya tak etis marah-marah di subuh seperti ini. Apalagi dengan gelar yang masih tersemat padanya sebagai pengantin baru.

Kang Fadil memeluk kran air di tempat wudhu, membuat Gus Muntaz heran melihat wajah yang dimanis-maniskan itu. Manisnya tak alami sepertinya.

"Sampeyan salah obat, Kang?"

Kang Fadil menggeleng. Kini jemarinya saling ditaut-tautkan. Persis anak kecil yang mau minta duit. Gus Muntaz yang tak suka basa-basi segera menatap tajam kawannya itu meminta penjelasan.

"Saya suka sama salah satu santri mu, Gus. Kalau nggak keberatan, saya pengen minta tolong njenengan tanyakan dia sudah punya calon apa belum." Kang Fadil menoleh ke arah lain, berusaha menyembunyikan wajahnya yang malu. Melihat laki-laki yang berlagak seperti itu malah membuat Gus Muntaz merasa jijik.

"Ayolah, Gus. Kali ini saja bantu saya." Kang Fadil meraih tangan Gus Muntaz. Laki-laki di depannya itu segera menepis tangan Kang Fadil.

"Siapa namanya?" tanya Gus Muntaz akhirnya, tak ada waktu lagi untuk berbasa-basi. Bisa-bisa ia akan kehilangan waktu subuh.

"Uswatun Chasanah," bisik Kang Fadil di dekat telinganya.

"Ya sudah, nanti saya bantu. Sekarang saya harus wudhu dan subuhan."

Akhirnya Kang Fadil beringsut pergi. Sesekali ia menatap Gus Muntaz dan berterimakasih. Tapi segera berlari saat Gus Muntaz menyiramkan air di gayung.

Gus Muntaz baru sampai di kamarnya, ternyata Ning Iyyah telah bersiap di atas sajadahnya. Wajah cantiknya yang tertekuk membuat Gus Muntaz was-was. Apakah kali ini ia tak akan selamat?

"Wudhu di negara mana sih, Gus? Sudah hampir siang," keluhnya sambil cemberut.

"Ssstttt."

Keduanya lantas khusyuk menjalankan shalat subuh. Setelah salam, keduanya terlihat wirid dan mengaji sampai matahari terlihat meninggi. Seusai mengaji, Ning Iyyah beranjak ke luar berniat menyiapkan sarapan suaminya. Baru saja Ning Iyyah keluar, saat Gus Muntaz mengambil handphonenya dan menghubungi seseorang. Tak sadar bahwa Ning Iyyah masih di dekat pintu. Obrolan Gus Muntaz di telepon membuat Ning Iyyah mengerutkan kening. Mungkinkah Gus Muntaz memiliki rahasia yang tak diceritakannya pada Ning Iyyah?

Assalamualaikum teman-teman. Selamat subuhan ya. Jangan lupa tadarus.

Baru setelah itu baca Gus Muntaz 😅😅

Nah kan Ning Iyyah curiga ada apa ya sama Gus Muntaz?

Tetep ikuti terus ceritanya ya. Jangan lupa vote dan komennya kalo mau up cepet.

Semangat berpuasanya.

Salam hangat,
Marantik Gita

Ngantang, 05 Mei 2020
04.52

Gus Muntaz [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang