Part 29

6.7K 401 10
                                    

Gus Muntaz melangkahkan kakinya keluar dari mobil diiringi umi dan abahnya. Wajah tampan Gus Muntaz berangsur menegang. Detak jantungnya mulai berpacu. Badannya yang semula biasa mendadak gemetaran. Bahkan sampai sandal selop yang dia gunakan sempat terlepas saat dia mulai berjalan. Membuat beberapa orang di sekitarnya tertawa.

"Muntaz, ada apa le?" bisik Bu Nyai di dekat telinga putranya.

"Muntaz kok mendadak gemetar ya, mi," jawab Gus Muntaz yang wajahnya mulai memerah menjadi serbuan mata orang banyak.

"Bilangin orang-orang jangan ngetawain Muntaz dong, mi." Gus Muntaz menunduk menyembunyikan wajahnya yang terasa hangat.

"Uwes ga usah grogi. Laki-laki kok gitu, ayo ndang maju." Pak Kyai yang ada di sebelah lain menegur anak dan putranya yang berbisik-bisik. Menurutnya hal itu tidak pantas. Apalagi mereka sedang menjadi tamu di rumah orang.

Mendengar suara tegas itu, Gus Muntaz dan Bu Nyai tak lagi menyela dan memilih meneruskan langkah memasuki tempat acara.

Sepuluh menit, Gus Muntaz duduk di depan meja akad. Jangan tanya bagaimana perasaanya saat ini. Yang jelas ia sangat gugup, bahkan keringat terasa mengucur di sekujur tubuhnya.

Tak lama kemudian, Pak Kyai Umar dan calon besannya keluar dari ruang tamu berjalan menuju meja akad. Lalu Pak Kyai Umar duduk di belakang Gus Muntaz berjarak beberapa meter dari anaknya. Sedangkan Abah dari Ning Iyyah mengambil tempat di depan Gus Muntaz. Gus Muntaz mencium tangan calon mertuanya. Pak Kyai sempat membelai pundak pengantin laki-laki ini.

"Yaa Muntaz Alfaruqi bin Umar uzawwijuka 'ala ma amarollohu min imsakin bima'rufin au tasriihim bi ihsanin,Yaa Muntaza Alfaruqi bin Umar anahtukawa zawwaj-tuka makhthubataka Fatimah Abqariyyah binti Jamil bi mahri mushaf alquran wa alatil 'ibadah haalan."

"Qobiltu nikaahahaa wa tazwiijahaa bil mahril madz-kuur haalan," balas Gus Muntaz dengan satu tarikan napas.

Pak Kyai Jamil, Abah dari Ning Iyyah menoleh ke beberapa saksi yang menyaksikan ijab qobul. Semua melafalkan alhamdulillah ketika saksi berkata sah. Tak terasa tubuh Gus Muntaz yang tadi menegang kini perlahan menjadi lega. Matanya sedikit berkabut terbawa suasana haru.

Lalu saat Ning Iyyah dibimbing umi dan kakaknya berjalan dari pintu ndalem, hati Gus Muntaz terasa disiram air hujan yang penuh barokah. Wajah yang mengenakan cadar itu terlihat lebih mempesona dibanding biasanya.

Gus Muntaz tertegun sesaat melihat gaun indah Ning Iyyah di hadapannya, hingga Pak Kyai Jamil, Abah Ning Iyyah meraih tangan Gus Muntaz. Lucunya, Gus Muntaz yang sibuk mengamati Ning Iyyah, terkejut dengan tangan Abah mertuanya. Ia sempat menarik kembali tangannya. Pak kyai turut terkejut dengan tingkah anak mantunya.

"Afwan, Pak Kyai." Gus Muntaz lalu menurut saat tangannya dibimbing menuju puncak kepala Ning Iyyah.

Gus Muntaz mengikuti doa barokah yang diucapkan ayah mertuanya dengan sedikit gemetar. Wangi yang menguar dari wanita di depannya membuatnya hampir kehilangan kesadaran karena bahagia.

"Allaahumma innii as-aluka khayraha wa khayra maa jabaltahaa 'alaihi wa a'uudzu bika min syarrihaa wa min syarri maa jabaltahaa 'alaihi,"

Setelah itu satu per satu proses temu manten adat Jawa timur dilaksanakan runtut sesuai urutannya. Namun saat mereka melakukan sungkem, tak sadar Gus Muntaz tergugu di pangkuan uminya.

"Sudah le, kamu sudah jadi suami. Jangan cengeng," timpal uminya.

Alih-alih tersinggung, Gus Muntaz malah semakin membenamkan kepalanya di pangkuan Bu Nyai.

Gus Muntaz [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang