Part 59

5K 358 7
                                    

Rembulan merangkak di langit, malam ini mendung menutup sebagian angkasa. Membuat Ning Iyyah sedikit cemberut karena tidak bisa melihat sinar purnama. Seperti bulan-bulan sebelumnya. Ning Iyyah masih menatap langit. Ia teringat sesuatu, tapi ia kembali ragu untuk memikirkannya.

Bulan lalu, ia menikmati bulan purnama dengan sholawat yang ia lantunkan. Ia ingat betul, bulan lalu ia terlambat menstruasi sehingga kebiasannya mengaji Ar-Rahman sambil melihat bulan purnama harus terganti dengan sholawat saja.

Ning Iyyah ragu-ragu menatap kalender. Tapi ia kembali menutup aplikasi kalender di handphonenya. Kembali ingat bagaimana rasa kecewa yang terakhir kali ia rasakan. Biar saja waktu yang menjawab keresahannya kali ini.

"Assalamualaikum," sapa Gus Muntaz tiba-tiba di samping istrinya.

"Sejak kapan ada di sana, Gus?" Balas Ning Iyyah, membuat laki-laki di depannya memajukan bibirnya beberapa senti.

"Jawab salam hukumnya wajib, Ning."

"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh, sayang." Ning Iyyah turut tersenyum melihat binar di wajah suaminya.

Walau terkadang ada bayangan masa kelam itu di wajah Gus Muntaz, Ning Iyyah mencoba terus menepisnya. Ia selalu menanamkan dalam kepalanya bahwa suaminya hanya manusia biasa yang bisa melakukan kesalahan. Begitupun dirinya kelak. Setelah menancapkan kalimat itu di kepalanya, Ning Iyyah kembali beristighfar dan bisa tersenyum dengan tulus.

"Ada apa, Gus?" Ning Iyyah akhirnya menegur karena tidak ada kalimat lain yang keluar dari mulut suaminya. Hanya tatapan tajam yang seolah tembus ke hatinya.

"Ajari aku caranya mengambil hati santri seperti yang tadi Ning lakukan." Gus Muntaz menurunkan pandangannya. Lalu meraih pundak Ning Iyyah untuk duduk di tepi ranjang.

Melihat gelagat Gus Muntaz, Ning Iyyah langsung tahu apa yang diinginkan suaminya saat ini. Ning Iyyah langsung menerima kepala Gus Muntaz di pangkuannya. Gus Muntaz selalu melakukan hal itu. Belakangan Ning Iyyah tahu dulu suaminya itu sering bermanja seperti ini kepada uminya.

"Apa to, Gus. Saya nggak melakukan apa-apa." Ning Iyyah merendahkan diri. Walau sejujurnya ia memang tak melakukan apapun yang berarti tadi siang.

"Aku hampir menyerah ngadepi anak-anak tadi, Ning," keluh Gus Muntaz. Ia sangat panik dan tidak bisa membawa diri dalam keadaan seperti tadi.

"Anak kecil itu lebih nyaman sama orang yang tulus, Gus." Ning Iyyah menerawang, membayangkan wajah-wajah polos yang selalu menatap penuh cinta.

"Jadi menurut Ning, aku nggak tulus?" Gus Muntaz mendongak. Sedikit tersinggung dengan perkataan istrinya tadi.

"Maaf, Gus. Tapi jiwa mereka yang polos tidak bisa dibohongi." Ning Iyyah mengelus kening suaminya. Keduanya berpandangan lama.

Setelah tersadar, Gus Muntaz mencubit pipi istrinya. Ia benar-benar dibuat gemas dengan istrinya ini.

"Semoga Allah menjaga cinta kita, Ning," bisik Gus Muntaz.

Ning Iyyah hanya membalas dengan amiin yang lirih. Ia menangkap harapan besar Gus Muntaz untuk segera memiliki momongan. Tapi Gus Muntaz terlihat berusaha menepis itu dengan cara yang halus. Gus Muntaz pasti tidak ingin menyakiti hati Ning Iyyah.

"Ning, ada yang ingin aku berikan padamu." Gus Muntaz bangkit dan mengambil tasbih di lacinya. Selama ini ia menyimpan rapat-rapat tasbih itu. Dengan memberikan tasbih itu kepada Ning Iyyah, Gus Muntaz berharap selalu ingat bahwa ada Ning Iyyah yang telah menyerahkan seluruh jiwanya.

"Tasbih?" Ning Iyyah tidak percaya menerima hadiah istimewa itu dari Gus Muntaz. Ia mengira tasbih itu memang inisiatif suaminya untuk memberi hadiah.

Tasbih putih, membuat Ning Iyyah teringat pernah melihat tasbih semacam ini. Tapi Ning Iyyah gagal memuat ingatan itu lebih rinci. Barangkali tasbih cantik ini banyak yang memiliki.

"Sebenarnya, tasbih ini bukan milikku."

Ning Iyyah sedikit terkejut. Jika bukan milik Gus Muntaz lalu milik siapa?

"Itu pemberian wanita yang mengganggu pikiranku. Aku serahkan padamu karena aku benar-benar ingin melupakannya." Gus Muntaz menunduk. Berkali-kali ia menghembuskan napas saat ingat betapa bodohnya ia menghianati cinta Ning Iyyah. Ibarat pepatah sepandai-pandainya menyimpan bangkai, akan tercium juga. Gus Muntaz takut jika Ning Iyyah mengetahui siapa wanita yang selama ini mengganggu pikirannya.

Ning Iyyah masih menikmati kejutan dari suaminya. Ia wanita biasa. Saat ini nyeri di dadanya kembali mendera. Tapi Ning Iyyah berusaha melebarkan senyum di wajah. Ia tak mau kalah dari nafsunya.  Bukankah ini berarti Gus Muntaz benar-benar ingin melupakan wanita itu?

Apakah Ning Iyyah tak pernah menangis jika teringat hal ini? Pernah! Ning Iyyah selalu menangis di atas sajadah di saat qiyamullail. Ia merasa tak berdaya saat mengadu kepada Allah. Baru setelah puas, ia kembali menguatkan hatinya untuk menghadapi hari.

Apa Ning Iyyah benar-benar tak ingin mengetahui siapa wanita itu? Tidak! Ning Iyyah bahkan sangat ingin tahu bagaimana hubungan Gus Muntaz dengan wanita itu. Sejauh apa wanita itu memikat Gus-nya dan sudah seberapa lama keduanya terlibat perasaan.

Tapi sekali lagi Ning Iyyah bertekad berdamai dengan luka menganga itu. Ia benar-benar menahan diri sekuatnya. Ia hanya ingin fokus untuk beribadah dan memperbaiki diri. Jika Gus Muntaz benar-benar menyesal, maka Allah akan membantunya melupakan kejadian itu. Dan sungguh hanya Allah Yang Maha membolak-balikkan hati hambaNya.

"Apa Ning benar-benar tidak ingin tahu siapa wanita itu? Aku akan mengatakannya secara terang-terangan, Ning. Aku tidak mau menjadi munafik. Biarlah burukku nyata terlihat di matamu. Aku tidak ingin pura-pura baik di depanmu."

Gus Muntaz menatap istrinya dalam-dalam. Luka itu tidak bisa lagi disembunyikan Ning Iyyah. Itu terbukti jelas dari air mata yang terus menetes dari pelupuk matanya.

Setelah menghirup napas dalam dan menyeka air mata di wajahnya, Ning Iyyah membenarkan duduknya. Ia meraih tasbih itu dan meletakkannya di lemari kosmetik. Mungkin tasbih itu seperti monumen untuk kehancuran hatinya. Tapi Ning Iyyah berusaha menjadikan tasbih itu tonggak muhasabah untuk dirinya sendiri. Bukan lukanya yang ingin ia ingat. Tapi hatinya dan kasih sayang Allah yang menguatkannya hingga saat ini.

"Tidak, Gus. Saya tidak perlu mengetahui apapun tentang masa lalu Gus. Saya hanya akan menyakiti hati Gus Muntaz dengan rasa sakit saya jika Gus Muntaz kembali menceritakan tentang peristiwa itu." Ning Iyyah menegarkan hatinya. Yang menang bukan wanita yang mencuri hati suaminya, tapi ialah yang berhasil bertahan dengan cinta dan muhasabah. Ialah pemenang sejati dalam perang ini. Dan ini semua karena Allah menggerakkan hatinya. Semua karena Allah semata.

Gus Muntaz meraih Ning Iyyah dalam pelukannya. Dan di sana air matanya jatuh tak bisa tertahan. Gus Muntaz menangis tersedu-sedu. Meluapkan rasa penyesalannya yang dalam. Memohon ampun kepada Allah. Bertaubat dan tak mengulangi hal buruk itu.

Assalamualaikum teman-teman.

Komen lhoh ya, biar semangat nyelesein cerita ini. Masih puanjang menuju ending. Doain author sehat dan diberi kemampuan oleh Allah untuk menuntaskan cerita penuh emosi ini ya. Semakin akhir semakin menegangkan.

Gus Muntaz [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang