Part 66

5.4K 387 10
                                    

Hari terus berlalu, benar apa yang dikatakan Pak Kyai Umar tempo hari. Hari ini tepat sebulan ia harus tidur terpisah dengan sang istri, dan kabar baiknya, Ning Iyyah menarik omongannya waktu itu. Jadilah hari ini Gus Muntaz kembali boyongan ke kamarnya.

Setelah bolak-balik dua kali membawa sarung dan bajunya, Gus Muntaz kini membawa peralatan mandi dan skincarenya.

"Sudah semua, Gus?" Ning Iyyah yang hanya mengawasi suaminya sambil bersidekap menatap jengah.

"Sudah Ning, ada apa?" Gus Muntaz menyeka keringat sebesar butir jagung di keningnya. Sekarang pasti berat badannya kembali turun setelah berjalan bolak-balik. Apalagi sejak tidur di asrama pondok, jarak antara madrasah dan kamarnya sangat dekat. Jadi ia sudah mulai tak terbiasa berjalan jauh.

"Maafin saya ya Gus, harus mengusir njenengan. Saya nggak suka bau sampeyan." Ning Iyyah mengaku, sejak malam pertama ia tidur sendirian. Ning Iyyah selalu merasa ada yang salah. Barulah ia sadar kalau tindakan mengusir suaminya adalah hal yang tak seharusnya ia lakukan.

"Nggak apa-apa, Ning. Kata umi untuk menjaga kesejahteraan anak-anakku, aku harus memastikan ibunya bahagia. Jadi apapun akan aku lakukan demi kebahagiaanmu, Ning," balas Gus Muntaz membuat pipi Ning Iyyah sedikit merah jambu.

"Oh iya, apa bulan ini sudah kontrol, Ning?"

Ning Iyyah menggeleng, membuat Gus Muntaz cemas. Bagaimanapun juga, ANC terpadu harus dijalankan.

"Hari ini jadwal kontrol kan Ning?"

Melihat istrinya mengangguk, Gus Muntaz langsung tersenyum senang. Entah sejak kapan, tapi kini ia selalu antusias ikut mengetahui perkembangan si jabang bayi. Apalagi setelah mengetahui bahwa anak yang dikandung istrinya itu kembar.

"Apa sekalian setelah kontrol ke rumah?" tanya Ning Iyyah, melihat perubahan air muka suaminya, ia yakin kalau suaminya itu lupa.

"Hari ini Gus Salim nikah, Gus. Masak njenengan lupa?"

Gus Muntaz menepuk dahinya, ia memang lupa. Sekian lama berpisah dari Ning Iyyah, Gus Muntaz hanya fokus mengajar madrasah dan bertirakat dengan banyak bertadarus yang ditujukan khusus untuk calon anak-anaknya. Gus Muntaz bahkan tidak bisa mengingat tanggal karena sibuknya.

"Maaf, Ning. Beneran lupa. Ya sudah kalau gitu, kita siap-siap ya," ajak Gus Muntaz akan beranjak dari tidurnya. Melihat ke atas meja rias Ning Iyyah, dada Gus Muntaz tiba-tiba gemetar. Melihat tasbih itu masih tergeletak di sana, entah kenapa Gus Muntaz yakin Ning Iyyah belum tahu bahwa pemilik tasbih itu adalah kakaknya sendiri. Dan jika Ning Iyyah mengetahuinya, entah bagaimana sikap Ning Iyyah terhadap Gus Muntaz. Barangkali cinta yang selama ini tumbuh subur akan sedikit goyah karena kebenaran itu.

"Ada apa, Gus?" Ning Iyyah heran melihat langkah suaminya terhenti sambil menatap meja riasnya.

"Ternyata aku masih tampan ya Ning." Gus Muntaz meletakkan jari telunjuknya di dagu. Membuat simbol cool. Hal ini memancing tawa dan risih Ning Iyyah.

"Penyakit njenengan kumat lagi, Gus." Ning Iyyah menggeleng tidak percaya. Iya sih, semenjak sebulan tak bertemu suaminya itu sedikit lebih bersih. Tapi Ning Iyyah gengsi mengatakannya.

"Ganteng bukan penyakit, Ning. Kalau abahnya aja ganteng kayak gini, apalagi nanti anaknya," kata Gus Muntaz lagi. Ia mulai memikirkan wajah anak-anaknya kelak.

"Yang jelas, anak pertama laki-laki akan mirip ibunya, Gus." Ning Iyyah merespon lalu mengambil kertas kado di lemari. Ia akan mulai membungkus kado untuk Gus Salim dan Ning Rishma.

"Mau mirip siapapun yang penting sehat, diberi kemudahan dalam melahirkan." Gus Muntaz maju dan mengecup pipi istrinya. Ning Iyyah yang tak memiliki ancang-ancang untuk menghadapi serangan dadakan itu langsung melongo.

Setelah Gus Muntaz berlalu, Ning Iyyah menyentuh pipinya dengan tangan. Rasanya sudah lama sekali tak bertemu suaminya. Padahal ia sendiri yang menyuruh Gus Muntaz menjauh, tapi Ning Iyyah sendiri yang mati-matian menahan rindu. Lantas bagaimana jika nanti Allah takdirkan perpisahan? Mungkinkah Ning Iyyah akan ikhlas?

***

Pukul sebelas siang, Gus Muntaz dan Ning Iyyah baru saja keluar dari rumah sakit. Wajah bahagia keduanya tak bisa disembunyikan. Gus Muntaz bahkan harus menggenggam tangan istrinya untuk meredakan jantungnya yang berdetak kencang.

"Huft." Gus Muntaz mengembuskan napas lega. Ia lega karena pertumbuhan si jabang bayi yang dikandung Ning Iyyah begitu baik. Ia baru kali ini melihat makhluk mungil itu.

"Allahuakbar," lanjut Gus Muntaz setelah berada di mobil. Kali ini ia meminta salah satu kang santri untuk menyetir. Ia sedikit trauma setelah kejadian dulu hampir menabrak mobil pickup dan membuat Ning Iyyah kaget.

"Kenapa, Gus?" Ning Iyyah melirik suaminya. Wajah putih Gus Muntaz kini sedikit memerah.

"Aku takjub dengan kuasa Allah, Ning."

"Semoga kedua jagoan Abah ini selalu dalam lindungan Allah subhanahuwata'ala," lanjutnya sambil mengelus perut Ning Iyyah yang mulai membuncit.

"Amiin," balas Ning Iyyah. Ia juga tak bisa menutupi kebahagiaannya. Meski kadang ia selalu terpikir hal yang buruk tentang kehamilannya.

"Sekarang kita ke nikahan Gus Salim ya," lanjut Ning Iyyah.

Anehnya, wajah Gus Muntaz mendadak keruh. Ning Iyyah jadi cemas ada sesuatu yang terjadi pada suaminya.

"Ada apa, Gus?"

Gus Muntaz nampak berpikir sebentar sebelum akhirnya membuka suara tentang kegelisahannya.

"Aku takut Ning Rishma kepincut suamimu yang tampan ini."

Mendengar itu, Ning Iyyah memutar bola mata. Jengah dengan sikap narsis suaminya. Padahal dulu saat belum menikah, Gus Muntaz terlihat sangat serius. Tapi kini sikap itu seolah hilang tak berbekas. Ning Iyyah melihat suaminya itu seperti haus pujian dan semua orang harus mengakui ia tampan. Meski kenyataannya memang ia tampan.

"Njenengan tau Gus, apa kata Gus Salim terakhir kali kita bertemu?" pancing Ning Iyyah, memangnya hanya Gus Muntaz saja yang pandai membuatnya cemburu?

"Apa, Ning?"

"Gus Salim bilang, kalau Gus Muntaz nyakitin saya lagi, mending saya jadi madu mudanya Ning Rishma. Ning Rishma sudah bersedia kalo saya mau jadi istri kedua Gus Salim."

Wajah putih Gus Muntaz kini merah padam. Ia merasa marah dengan kalimat yang diutarakan istrinya.

"Aku tidak akan pernah melepaskanmu, Ning. Jadi bagaimana bisa Ning berpaling?"Gus Muntaz langsung menggenggam erat tangan Ning Iyyah. Sekali ini ia merasa menyesal selalu mengajukan ketampanannya. Kalimat Ning Iyyah tadi benar-benar menohok ke dalam hatinya. Apalagi jika ingat betapa dalam perasaan Ning Iyyah kepada Gus Salim dulu, Gus Muntaz jadi takut jika perasaan itu bangkit dan memporak-porandakan rumah tangganya.

Bahkan ia saja mati-matian menghapus Ning Sysy dari hati dan kepalanya. Kenapa Ning Iyyah masih saja menyimpan harap kepada Gus Salim? Atau mungkin ini karma karena Gus Muntaz pernah berniat bermain api?

Gus Muntaz memandang Ning Iyyah dalam. Ia tak mau dipisahkan dengan istrinya. Ia telah berjanji menyayangi dan membahagiakan Ning Iyyah.

Assalamualaikum teman-teman.

Gimana nih puasanya?

Stay safe ya teman-teman. Stay healthy and happy.

Jangan lupa vote dan komennya ya. 😍😍

Gus Muntaz [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang