Empat tahun lalu, Han dengan koper di tangan kirinya akan keluar dari hotel tempat dirinya dinas selama seminggu yang tentu membuatnya rindu berat dengan sang suami. Kepulangannya malam ini sangat Han tunggu. Bahkan ketika kepala rumah sakit ㅡyang notabenenya adalah bosnyaㅡ belum pulang, dokter manis itu memutuskan untuk pulang sendiri karena hakikatnya tugas yang harus dia kerjakan sudah selesai.
Namun ketika telah berhasil keluar dari gerbang utama hotel, dia mendengar seseorang menangis di depan gedung hotel.
"Tangan tatiti atuuu," tangisan seseorang yang sendu dengan ucapan yang tidak begitu jelas membuat Han merasa iba.
Ditatapnya oleh Han lelaki yang merisak perempuan cantik dengan air mata berderai itu.
"Heiii!!" Teriakan Han membuat lelaki berbadan lebih besar dari Han tentu saja tidak takut. Tapi Han tidak kehilangan akal, dia berpura-pura menelepon pihak berwajib dan suaranya dia sengaja buat sedikit berteriak.
Tentu saja, lelaki itu langsung kabur tanpa menoleh.
"Rumahmu di mana sayang?" Han bertanya.
"Atu tidak ica mendengal," perempuan itu berucap dengan lirih, tampak malu dibuktikan dengan menunduknya ia.
Han yang paham meski butuh waktu sedikit lama pun mendekat lalu dia berbicara tepat di depan si perempuan, berbicara dengan lambat, "Rumahmu di mana?"
Perempuan itu menggeleng tapi telunjuk tangannya mengarah ke gedung panti asuhan di seberang jalan, dekat dengan hotel ini.
Han pun mengantar perempuan itu kembali ke panti.
Ternyata lelaki tadi adalah preman yang biasa mengganggu di panti dan berkehendak sekenanya sendiri. Untung Han datang tepat waktu menyelamatkan karena jika tidak, perempuan itu mungkin sudah tidak perawan saat ini.
Han berbicara panjang lebar dengan pengurus panti. Dan lelaki manis itu bertekad dalam hati setelahnya.
Seraya keluar dari ruangan ibu panti, Han menelepon sang suami dan menceritakan apa yang baru saja terjadi padanya.
Meski dengan agak takut tapi Han mengungkapkan dengan yakin sebuah pertanyaan, "Kak, aku boleh menjadikan perempuan ini sebagai putriku? Kakak kan tahu aku tidak akan bisa memberikan keturunan, programnya tidak bekerja pada diriku."
"Kamu yakin?" Lino bertanya sekali lagi. Ini terlalu tiba-tiba. Bahkan mereka tidak sedang bertatap muka.
Lino takut Han belum siap untuk merawat seorang putri, apalagi putri yang sudah cukup besar dan berkebutuhan khusus seperti perempuan yang diceritakan oleh Han itu.
"Aku tidak pernah seyakin ini," Han menjawab dengan tidak kalah yakin dengan ucapannya tadi.
"Jika itu maumu, boleh sayang, kakak juga ingin menjadikannya sebagai putri, ceritamu menyentuh kakak," Lino berucap lembut di seberang sana.
Mulai saat itulah Han dan Lino mengadopsi perempuan yang bertemu tidak sengaja dan tak terduga.
Han dan Lino mengganti nama sang putri dengan nama Ceria Putri Parveen. Han memilih nama Ceria karena Ceria berasal dari bahasa Indonesia yang berarti bersih dan suci namun pelafalan yang dipakai oleh pasangan itu ada pemenggalan pada Ceri seperti penyebutan buah Cherry yang berwarna merah kesukaan Han.
***
"Bagaimana masakannya?" Lino bertanya pada putri yang sudah akan menginjak usia remaja itu.
"Seperti biasa, enak sekali," Ceria berucap dengan tangannya.
Lino sedang menyiapkan sarapan selagi Han bersiap-siap.
Memang mereka selalu berbagi tugas seperti ini, hidup bersama selama tujuh tahun membuat mereka memahami satu sama lain sehingga mudah bagi mereka untuk berbagi tugas dan langsung peka ketika salah satu dari mereka sedang tak bisa melakukan hal itu.
"Ceri akan melatih tari hari ini?"
Ingat kan jika sewaktu kuliah Lino aktif melatih tari di sanggar? Nah sekarang Lino sudah punya sanggar sendiri dan salah satu muridnya adalah putrinya waktu itu. Tapi sekarang, Ceria bahkan sudah bisa melatih tari pada murid-murid sang daddy.
"Iya daddy, pukul 10."
"Biar daddy yang antar."
Ceria memberikan gestur jempol tangannya untuk sang daddy.
"Sayang, sarapannya sudah siap. Ayo cepat kemari!" Lino agak mengeraskan suaranya agar Han yang berada di kamar terdengar.
Terdengar suara pintu kamar tertutup dan itu tandanya Han sudah menuju ruang makan.
"Apa perlu aku gendong, sayang?" Tanya Lino ketika Han sudah terlihat dari pandangan matanya.
"Daddy mecuuum!!" Bukan Han melainkan Ceria yang menjawab karena mendengar bibir sang daddy yang berucap kotor.
Han menepuk punggung Lino sedikit kasar ketika sudah bisa menjangkau badan sang suami itu, "Jangan bicara aneh-aneh."
"Hehe bercanda. Ayo makan, keburu dingin."
Kemudian mereka mulai memakan sarapan ala Adhlino Jaris Parveen dengan nikmat dan perasaan bahagia.
Tentu, bahagia dapat diraih dari mana saja.
Kebahagiaan yang selama itu sudah lengkap bertambah lengkap dengan hadirnya putri manis.
Han, Lino, dan Ceria menjemput bahagia yang akan mereka dapat setiap hari. Pun juga kalian yang membaca cerita ini, akan bisa menjemput bahagia kalian sendiri kan?
Ayo bahagia bersama!
[Minggu Malam, selesai]
Terima kasih kawan atas bonus yang kalian berikan padaku ♡
KAMU SEDANG MEMBACA
Minggu Malam | minsung✓
Fanfiction(💋) Melanjutkan kisah dua sejoli yang selalu kencan di Sabtu malam namun saat ini dengan level naik tingkat karena telah terikat janji suci. Kisah Minggu malam mereka akan segera terdedah. ● lokal au ● buku kedua [190420ㅡ070520]