4) Kedatangan Nenek

377 60 0
                                    

"Jariiiiss!!!" Suara nenek berteriak terdengar dari luar pintu rumah Lino.

"Suara nenekmu Kak," cicit Han takut karena tiba-tiba mendengar suara nenek Lino yang jarang kemari. Han langsung berpikir yang tidak tidak, berpikir tentang ketakutannya akhir-akhir ini.

"Sayang, nenek tak mungkin ke sini karena apa yang kamu pikirkan sekarang, tenang ya," Lino menenangkan Han dan bangkit dari untuk membukakan pintu rumahnya meski dia sedang berpelukan dengan Han di sofa ruang tamu.

Di depan pintu terlihat wanita yang tak lagi muda dengan usia mungkin lebih dari tujuhpuluhan tahun namun masih tegap berdiri.

Itu adalah nenek Lino, ibu dari papa Lino. Di malam hari yang dingin ini malah berkunjung ke rumah sang cucu.

"Ya ampun Nek, kenapa harus susah payah ke sini ?? Pasti di luar sedang dingin," Lino berucap kemudian membantu membawakan bekal besar yang tadi dibawa sang nenek. Lino menggandeng neneknya menuju dalam rumah.

"Kamu hidup dengan baik kan, Nak? Han bagaimana ? Dia juga baik?" Rentetan pertanyaan diajukan oleh nenek padahal mereka belum sampai dalam rumah.

"Tentu, kami baik. Nenek sehat kan? Kakek bagaimana ?" Lino ganti bertanya.

"Kakek selalu baik-baik saja."

"Syukurlah."

Nenek memeluk lengan sang cucu yang rasanya sudah semakin dewasa. Waktu cepat sekali berlalu. Seperti itulah tatapan sang nenek.

"Kali lain kami saja yang mengunjungi kalian. Surabaya-Lamongan lumayan jauh nek," Lino berkata lembut dengan tangan kanannya yang sudah terulur mengelus tangan kanan nenek tercintanya itu.

"Han!!!" Tak menghiraukan saran Lino, nenek malah memanggil Han yang berada di sofa ruang tamu.

"Nenek," Han langsung bangkit ketika menemukan nenek sang suami ada di sana.

Mereka saling berpelukan, Han menepuk-nepuk punggung sang nenek dengan kasih sayang.

"Nenek rindu sekali dengan kamu, Han."

"Ayo duduk dulu, pelukannya dilanjut di sana," suara Lino memotong kerinduan antara nenek dan Han.

Setelah duduk di sofa, tangan sang nenek mulai membuka satu persatu bekal yang telah disiapkan untuk cucunya itu.

Mereka makan dengan lahap. Beberapa kali bertukar cerita satu sama lain. Membuat lelucon dan sebagainya. Han dan Lino memang sudah lama tak bertemu dengan nenek, sekitar setahun yang lalu terakhir bertemu dengan nenek.

"Kamu baik kan, Han?"

"Baik kok, Nek. Ini lihat pipi Han lebih berisi dari sebelumnya kan?" Han menunjukkam pipi gembilnya pada nenek Lino.

"Tapi tubuhmu tambah kurus, jangan memikirkan apapun yang akan mengganggu pikiranmu sayang," tangan nenek mengelus rambut Han.

Han menghangat, pun juga Lino yang melihatnya. Pemikiran Han yang sempat bersarang pada otaknya menghilang seketika. Dia kira nenek Lino akan menghakiminya seperti orang lain karena nenek Han sendiri juga berkomentar sesuatu yang menjadi momoknya saat ini.

"Memiliki keturunan bukanlah satu-satunya tujuan dua orang bersatu dan saling terikat, keturunan adalah bonus dari kebahagiaan lain yang dicapai setelah menikah," ucapan nenek Lino lembut seakan tahu sesuatu yang acapkali mengganggu ketenangan Han.

Nenek Lino tahu sekali arah pemikiran Han.

"Jangan terlalu dipikirkan. Kalian juga masih tiga tahun menikah. Tak apa, nikmati saja waktu berduaan lebih banyak," bahu Han dan Lino ditepuk-tepuk guna bentuk afeksi nenek pada kedua cucunya.

"Kalian makanlah yang teratur." Nasihat nenek kemudian menyuap nasi ke mulut Lino dan dilanjut ke mulut Han.

"Jangan khawatirkan kami, Nek. Nenek juga harus selalu jaga kesehatan," Balas Lino setelah menguyah makanan yang tiba-tiba masuk ke mulut gara-gara neneknya.

"Kami akan sering berkunjung ke rumah nenek setelah ini, nenek buat Han nyaman," Han berucap manis sembari menyandarkan kepalanya pada bahu sang nenek.

"Iya cucu nenek yang paling manis," pipi Han dicubit. Nenek pun bahkan gemas sendiri dengan cucunya itu.

"Bahagia terus ya cucu-cucu nenek," nenek merangkul pasangan hidup itu erat, semua kasih sayang tercurah pada rangkulan itu.

Malam yang panjang pun terjadi di ruang tamu keluarga Parveen dengan banyak wejangan dari sang nenek yang telah lebih lama menerima pahit manis sebuah kehidupan.

Han selalu bersyukur, masih ada Minggu malam baik yang selalu datang padanya.

***

Minggu Malam | minsung✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang