7) Cerita Berulang

333 54 0
                                    

Han membaca dengan teliti berkas yang saat ini berada di depannya. Dia memijit pelipisnya pelan secara teratur lalu bersandar di sandaran kursi tempatnya duduk sekarang dengan tetap membaca berkas yang dibacanya tadi.

Dia menghembuskan napas ketika membaca selembar kertas yang sedang dipegangnya.

"Aku bertemu kasus seperti ini lagi. Kali ini aku tidak boleh mengulang kesalahan yang sama," tekad Han pada dirinya sendiri.

Hari sudah semakin malam tapi dokter manis itu tidak kunjung beranjak dari kursinya, padahal sifnya pun juga telah selesai.

Grep.

Tubuh Han menghangat.

Tanpa menoleh pun Han sudah tahu pelaku yang sedang memeluknya dari belakang sekarang ini.

"Tidak pulang, hmm?" Bisik halus suaminya merembet sampai relung hati.

"Kapan datang ? Perlu kubuatkan minuman hangat?" Han menjawab pelan.

Lino menggeleng pelan.

"Aku hanya butuh pelukanmu untuk menghangatkanku, sayang," Gumam Lino di samping tekuk Han. Perlakuan itu membuat Han geli.

"Geli, Kak," Han membalas pelan.

Malam yang dingin, menghangat begitu saja di ruangan dokter Han itu.

"Ayo pulang," Lino berbisik pelan tepat di telinga Han.

"Aku masih harus mempelajari berkas ini, kasus langka lain di penyakit anak," Han menghembuskan napas kasar setelah mengatakannya.

"Apa menjadi dokter sesulit ini, Kak?" Pertanyaan retorik Han lontarkan dengan nada lemah.

"Kamu seharusnya sudah tahu konsekuensinya ketika masa koas, yang kamu tiap hari dimarahi oleh dokter senior," Lino berucap.

"Aku tak pernah lupa semua keluh kesahmu tiap kita bertemu," Lino kembali berucap. "Jadi jangan menyerah ya sayang, mereka yang sakit masih membutuhkanmu."

"Dulu aku ikut operasi hanya sebagai asisten tapi sekarang tiap operasi aku harus menjadi penanggung jawab utama membuat bebanku semakin besar. Rasa bersalah jika operasi gagal semakin tinggi," Han kembali curhat.

Lino paham semua yang dicurhatkan terkasihnya karena ini bukan kali pertama Han bercerita, hampir tiap gagal operasi dia bercerita hal yang sama. Rasa bersalah yang terus menghantui.

"Tahu Tari yang aku ceritakan tempo lalu?"

Lino mengangguk.

"Hari ini dia meninggal di ruang operasi. Padahal semua prosedur sudah aku lakukan dengan baik dan benar."

Lino mengelus surai hitam milik Han, "Ada yang tidak ada di prosedur tiap buku yang kamu baca dan ilmu yang kamu miliki, sayang."

Han mengernyit bingung.

"Takdir Tuhan," Lino mengucap, "Sebuah prosedur mutlak. Garis takdir manusia berbeda-beda. Kamu sudah melakukan yang terbaik sebagai dokter."

Ucapan Lino tidak bisa membuat Han tidak meneteskan air mata. Lino selalu tahu apa yang dibutuhkan Han.

"Terima kasih dokter Sewu atas semua kerja keras Anda selama satu tahun ini, saya mewakili Tari dan keluarganya mengucap beribu terima kasih," Lino berucap dengan lembut.

Pada dasarnya, Han hanya butuh seseorang yang mampu membuatnya berharga di saat terpuruk.

***

"Mandi besok pagi saja. Aku ingin memuaskan kebutuhanku."

Han bersemu mendengar jawaban Lino. Mereka memang sudah tiga tahun menikah tetapi tetap saja masih sering malu satu sama lain seperti ini ketika ingin bercinta.

Akhirnya setelah bujukan Lino tadi, mereka memutuskan untuk pulang. Dan saat ini Lino malah meminta jatah.

"Maukah ?" Lino bertanya pelan lagi. Pelukan belakangnya ke Han belum dia lepaskan, yang ada malah semakin erat.

Han mengangguk.

Anggukan Han langsung direspons Lino dengan menggendongnya ke atas kasur mereka.

"Sayang, aku mencintaimu," Lino berucap kemudian tangannya mulai membuka kancing baju tidur Han.

"Dan kamu tahu apa balasanku," Ucap Han dan membiarkan suaminya melanjutkan kegiatan mereka.

Dan malam itu pun berakhir dengan malam yang panjang.

***

Minggu Malam | minsung✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang