Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Lalisa membuka matanya dipagi hari dan mendapati dirinya terbaring sendirian diatas ranjang raksasa itu. Matanya belum bisa melihat dengan fokus, tapi indera penglihatannya telah menangkap secarik kertas dengan tulisan tangan yang tergeletak diatas nakas dibalik gelas air.
Tangannya terulur meraih secarik mertas itu dan mencoba mencernah maksud dari tulisan itu.
Aku sudah menyiapkan sarapan untukmu di meja. Makanlah dan pergilah ke kantor hari ini. Aku sudah merasa lebih baik, jadi aku ke agency untuk mengurus beberapa pekerjaan.
Tulisan tangan Park Haejin.
Mengumpulkan nyawanya, Lalisa mencoba bangun dari tidurnya dan mendudukan tubuhya dengan bersender pada kepala tempat tidur. Tangannya memijat kepalanya ringan. Rasanya tubuhnya benar-benar sedang tidak bersahabat sekarang, dan ... dia benar-benar malas melakukan apapun.
Tapi Lisa baru ingat jika dia memiliki janji untuk merekam sesuatu hari ini, meski latihannya dan Rose sudah dipendingnya. Atau tepatnya dipending oleh Park Haejin.
Bicara tentang Park Haejin ...
Lisa baru sepenuhnya sadar dan mengingat pembicaraan mereka semalam.
"Lisa, aku--- aku menginginkanmu dalam sebuah pernikahan yang sesungguhnya"
"Aku yang mengajakmu menjadikan pernikahan ini hanya sebagai pertanggung jawaban belaka. Tapi pada akhirnya aku yang menginginkanmu dan pernikahan ini"
Bukan hanya semalam, tapi pembicaraanmereka disiang hari dua hari sebelumnya juga terus menghantuinya.
"Jika nanti kita punya anak, bahkan jika aku sakit. Kau tidak boleh menitipkan mereka kemana-mana. Mereka tetap harus berada dirumah bersama kita. Dan kau harus tetap lebih memprioritaskan mereka dari pada aku"
Itu bukanlah sebuah pembicaraan biasa. Dan Lisa tahu jika itu adalah sebuah pembicaraan yang serius yang dimulai pria itu dengannya.
Mereka selalu terlibat dengan adu mulut dan percek-cokan. Lisa bahkan memiliki begitu banyak kamus kata-kata untuk meladeni pria itu dalam pertengkaran mulut hingga ke ranjang yang sengit.
Tapi ketika pria itu memulai sebuah pembicaraan yang ... you know what i mean, really has no idea to named it.
Lisa tidak punya keberanian untuk menanggapinya. Semua kalimat yang diucapkan pria itu, Lisa bukan tidak tahu jika dia tengah mencoba membangun sebuah pembicaraan yang serius dengan dirinya. Tapi Lisa, demgan segala sikap blak-blakannya masih belum memiliki mental yang kuat untuk menghadapi pembicaraan serius itu, meski hubungan yang saat ini mengikat mereka adalah hubungan yang sangat serius.