"UH."
Hal pertama yang dirasakan Sophia adalah kepalanya pusing sekali. Jari jemarinya memijat pelipis dengan pelan serta kedua mata yang masih terpejam perlahan terbuka. Samar-samar, penglihatan Sophia mulai jelas dan melihat bahwa ini adalah nuansa kamarnya. Sophia masih mengingat-ingat hal yang terjadi sebelum ia terlelap dan menggigil kedinginan.
"Apa aku sakit?"
Dengan tergopoh-gopoh Sophia beranjak dari ranjangnya, perlahan meraih knop pintu putih itu lalu memutarnya. Kepalanya sakit sekali, berulang-ulang Sophia memijat pelipisnya itu.
"Ternyata obat nya bekerja efektif."
Mendengar perkataan Ibunya membuat Sophia mengernyit kebingungan, ditambah Ia baru baru saja tersadar. "Hah? Apa?"
"Ibu kemarin beli obat penurun panas buat jaga-jaga, ternyata kamu demam tinggi, jadi pas sekali, penjaga apotek bilang kalau obat itu yang terbagus diantara yang lainnya."
"Kenapa aku bisa dirumah? Siapa yang antar?" Sophia menjatuhkan dirinya di kursi dekat jendela berwarna cokelat itu. Duduk sambil memandangi pemandangan yang ada di depan rumahnya.
"Wildan sama Bu Dewi yang antar. Kemarin kamu di gendong Wildan, kalau kamu mulai sekolah, kamu bawakan ini untuk Wildan ya."
"Di-digendong Wildan?"
Perasaan malu mengalir secari deras di sekujur tubuhnya, pipi Sophia langsung merona. Tapi ia tersadar ketika mendengar suara dentingan yang berada tidak jauh dari nya duduk.
Ibu meletakan sebotol vitamin-C kesukaannya di atas kabinet kecil di dekat Sophia duduk. Sophia hanya melihat melalui ekor matanya. "Itu buat Wildan? Bukan buat aku?"
"Punya kamu sudah ada."
Rambut cokelat Sophia sangat berantakan, duduk di sana dengan baju tidur hello kitty berwarna kuning gelap dan meminum segelas susu hangat di pagi hari. Hari ini adalah hari kamis, Sophia tidak pergi ke sekolah karena tubuhnya masih tidak enak, lagipula Bu Dewi-guru kesehatan mengetahui kondisinya dan menyuruhnya untuk istirahat dirumah lebih lama jika ingin cepat pulih.
"Ibu enggak buka kedai?"
"Ini Ibu mau buka kedai. Nanti, kamu jaga kedai biar Ibu yang antarkan pesanan ya."
"Biar aku saja bu yang antar pesanan. Ibu jaga kedai saja ya."
"Kamu ini gimana sih, kamu kan lagi sakit. Masa sih Ibu tega. Sudah kamu diam-diam saja jaga kedainya."
"Tapi ini mumpung aku lagi nggak sekolah Bu."
"Denger kata Ibu, Sophia."
Bibir Sophia di majukan karena tidak boleh mengantar pesanan. Mana tega seorang anak yang membiarkan orang tuanya kesusahan, tapi apalah daya ketika orang tua lebih sayang kepada anaknya. Terkadang, masih banyak seorang anak yang terlena dengan rasa kasih sayang orang tuanya, mengasyikkan diri sendiri, tidak memikirkan bagaimana caranya orang tua mencari nafkah di dunia yang keras.
Tok.
Tok.
Tok.
Ketukan suara pintu tersebut di ketuk berulang-ulang selama belum ada jawaban dari pemilik rumah. Ini masih terlalu pagi untuk bertamu, bahkan mentari baru saja menyinarkan dirinya di langit yang berwarna biru muda.
"Siapa yang bertamu pagi-pagi?" Ibu Sophia meletakkan kantung plastik berwarna hitam di lantai ketika mendengar suara ketukan pintu kayu tersebut.
"Enggak tahu, tuh."
"Coba kamu liat siapa? Paling tetangga."
Sophia memanggut mengiyakan perkataan Ibunya, ia beranjak dari kursi yang ia duduki berjalan menuju pintu utama rumahnya, dengan baju tidur hello kitty dengan rambut yang masih berantakan dan belum sempat di rapihkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
HSS [1] - Be With You
Teen Fiction[ UPDATE SETIAP RABU ] [ REVISI SETELAH TAMAT ] Banyak yang bilang pertemuan merupakan suatu hal yang indah dan memabukkan. Ketika Sophia bertemu Wildan untuk kali pertamanya, maka saat itulah dunia Sophia kian hari makin hancur. Pertemuan dengan Wi...