12

110 11 3
                                    

























Kegelapan memenuhi semua penjuru matanya. Kepalanya pening saat ia baru saja mendarat -entah dimana- dengan sangat menyakitkan. Jiyong mungkin sudah lupa caranya teleport, dan lupa bagaimana mengontrol kekuatannya. Karena di bumi, kekuatannya tak akan bekerja sepenuhnya.

"Ah.." Jiyong mendesah sedikit. Ia mulai berdiri dan berusaha tetap waspada. Ia tau. Ia selalu harus siap akan segala hal yang mungkin saja akan memperburuk keadaan. Ia tak tau dengan jelas dimana ia sekarang. Namun ia yakin satu hal, ia ingin bertemu Mino, yang sekali lahir, Jiyong yakini, ber teleport ke tempat ibunya, Chaerin. dan dengan keyakinannya itu, menghantarnya sampai ke istana raja api, untuk menemui anak dan istrinya sekali lagi.

Jiyong memelankan pijakan kakinya, memelankan napasnya agar sedikitpun tidak tertangkap oleh api-api penerang yang mungkin saja mengamatinya. Ia menyusuri banyak lorong panjang dan terus mencoba menerobos masuk. Sebenarnya ia tak tau ke mana tempat yang mengarah pada Chaerin ataupun anaknya, Mino. Tapi bagaimanapun, itu tidak akan bagus jika dia berhenti di tempat ayahnya. Ia akan mati, tidak, semuanya akan mati.

Ia semakin bingung ketika di depannya berdiri dengan kokoh aula bertangga besar yang kosong, yang disekitarnya dikelilingi oleh banyak pintu besar. Jiyong tak tau. Mana yang kamar atau yang bukan. Mana yang tempat chaerin atau tempat dewa api yang akan membunuhnya dan seluruh yang dia punya.

Ia semakin merasa bingung sebelum kemudian hawa dingin embun terasa keluar dari tubuhnya, dan menghantarnya ke sebuah pintu paling tengah yang terasa lebih hangat dari semua pintu lainnya. Jiyong yakin, anaknya, atau chaerinnya ada di sana. Ini pasti sebuah insting.

Dengan perlahan, ia masuk setelah membuka pintu besarnya dengan sangat mudah dan tak terlalu berisik. Ia tersenyum -hampir terharu- saat ia melihat seorang wanita cantik pujaannya yang sedang tertidur di atas ranjangnya. Ia tidur terlelap di dalam kobaran api yang mengelilingi tubuhnya, seakan membungkus dirinya, dan melindungi tubuhnya yang semakin lemah agar tak dapat disakiti sekali lagi oleh ayahnya.

Jiyong dengan lembut menghampiri sosok wanita berambut merah yang terlelap di tempat tidurnya itu. Ia membuat tangannya membelai rambut merahnya dengan sayang, membuat sedikit api-api yang menutupinya padam, seakan tau, belahan jiwanya, orang yang memiliki tubuhnya ini, datang untuk membelainya.

Senyuman tulus penuh kasih terus terpancar dari sudut bibir jiyong yang tipis. Ia tak tahan dengan hanya memandanginya, ia lalu mencium kening wanita itu dengan hati-hati. Dan seketika apinya seluruhnya padam. Wanita itu membuka matanya perlahan, merasa terganggu dengan sentuhan lembut di dahinya.

“Ah.. Jiyong?!!” Chaerin terkejut, ia bangun dan mencengkram lengan jiyong. Ia segera bangkit dari tidurnya dan melihat sekitar.

“Kenapa kau kembali? Apa kau bodoh? Bagaimana jika ayahku tahu?”

“Aku kemari mencari Mino, dia hilang, aku yakin dia kesini menemuimu.”

“Apa kau bilang? Mino hilang?!” Chaerin mengerutkan keningnya.

“Apa yang terjadi padanya?! Katakan! Apa ayahku menangkapnya?!”

“Tenang, Chae. Kecilkan suaramu. Tidak, ayahmu tidak menangkapnya, tapi jika kau terus berteriak, ayahmu akan menangkap kita semua.” jiyong memeluk chaerin dan mengelus rambutnya, berusaha membuatnya tenang. Cengkraman tangan chaerin yang jiyong yakin sedang panik, makin erat, mengalirkan rasa cemasnya terhadap anaknya yang hilang.

“Sebelum itu, aku ingin menanyakan sesuatu padamu.” jiyong berujar kecil.

“Apa?” chaerin memiringkan kepalanya tak yakin.

Fire in the Water✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang