Prolog

108 13 8
                                    

Pada pertemuan yang menjadi titik mula dipenuhi oleh canda tawa, kupikir, takdir mungkin kiranya sedang bercanda. Karena pada dasarnya, pertemuan hanyalah awal bagi perpisahan yang berujung luka.

***

Hari ini kota Bandung terasa dingin. Hujan yang mengguyur terus menerus dari semalam seakan menunjukkan bahwa langit masih bersedih, hanya sedikit cahaya yang nampak di ufuk timur sana.

Entahlah, banyak orang yang menyukai hujan. Dan banyak juga yang membencinya. Ada yang bilang, hujan itu hanya mengingatkan kita hal-hal yang menyedihkan. Namun ada yang bilang juga, hujan sebagai penyemangat agar kita bangkit walau terus jatuh, seperti rintik hujan.

Kalian termasuk golongan yang mana, suka atau benci? Kalau aku, biasa saja terhadap hujan. Kadang suka, kadang juga tidak. Aku bukan seperti gadis-gadis di cerita novel yang menjadi pecinta hujan maupun hatersnya, mungkin terlalu alay jika kita tiba-tiba menangis ketika hujan turun, nangis bombay sok meratapi nasib seolah-olah paling menyedihkan.

Dulu biasanya jika turun hujan, aku selalu main hujan-hujanan, tidak peduli walau itu di sekolah, tepat pulang sekolah. Tapi terkadang aku juga kesal bila turun hujan disaat yang tidak tepat, seperti saat ini contohnya.

Aku mengangkat tangan kiriku kembali menengok jam, sudah sejauh mana jarum panjangnya bergerak. Kuhembuskan nafasku sekali lagi kemudian menyeruput secangkir matcha yang asapnya telah menguap ditandai rasa hangatnya yang berubah dingin.

Suasana cafe yang cukup sepi sangatlah menenangkan. Aku kembali mengingat masa-masa putih abu-abuku dulu. Terhanyut suasana melankolis yang lama kelamaan merambat menghangatkan hatiku. Baiklah, akan kuberitahu sesuatu.

Saat ini aku tengah menunggu seseorang. Setelah lama tidak bertemu, akhirnya aku bertemu lagi dengannya lewat sosial media, kebetulan sekali. Aku tidak tahu jika dia memiliki akun sosial media yang cukup aktif. Yang kutahu dulu dia tidak terlalu menyukai hal-hal semacam sosial media, sama seperti aku.

Bagaimana kabarnya ya? Apakah masih pendiam seperti dulu?

Dan bagaimana dengan bola mata hitam kelamnya? Apakah masih menatapku seperti dulu?

Oh, tidak, apakah senyumannya masih seperti dulu juga?

Ya ampun, pikiranku mulai kemana-mana. Rasanya aku semakin merindukannya setelah dia tiba-tiba menghilang tanpa kabar. Tanpa sadar bibirku tertarik keatas membentuk sebuah senyuman tipis. Alunan lagu wonderwall milik grup band musik yang kini namanya telah hilang digantikan yang baru semakin membuatku teringat kenangan-kenangan dulu.

"Ck,"

Aku berdecak pelan saat kini sudah hampir dua jam aku menunggunya. Jika dia bilang karena hujan yang turun di pagi hari menyebabkan jalanan macet, sepertinya ini terlalu berlebihan. Ayolah, ini kota Bandung, bukan Jakarta yang selalu penuh sesak kendaraan para pekerja maupun siswa entah pagi atau sore hari.

Aku membuka lockscreen ponselku melihat jadwal kelas hari ini. Dua jam lagi kelasku akan dimulai. Sepertinya nanti aku tidak bisa berlama-lama mengobrol dengannya. Atau aku izin saja, ya, kepada dosenku hari ini?

Tringg..

Suara lonceng dari pintu cafe terdengar. Aku segera mendongakkan kepalaku melihat siapa yang datang untuk kesekian kalinya. Senyumku mengembang melihat siapa yang berdiri di depan pintu sana.

Akhirnya, dia datang.

Aku melihatnya mengedarkan pandangan mencari keberadaanku. Dengan segera aku melambaikan tangan supaya dia melihat. Tak lama, dia berjalan mendekat. Namun senyumku luntur seketika begitu dia telah sampai didepanku.

Tunggu, siapa dia?

***

-Jeda-

JedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang